Gapki: Industri Sawit Hilir Masih Minim Inovasi

Gapki Industri Sawit Hilir Masih Minim Inovasi

Industri perkebunan kelapa sawit masih minim inovasi pada pengembangan produk hilir. Hal itu salah satunya terjadi lantaran kurangnya akses ke petani swadaya, sehingga dalam mengolah produksi kelapa sawit masih menggunakan cara tradisional sehingga hasilnya menjadi kurang optimal.

“Sebagai produsen sawit terbesar dunia, kita miskin inovasi,” kata Direktur Eksekutif Gapki Danang Girindrawardhana di Jakarta, Rabu (7/3).

Menurutnya, kesulitan mengakses petani perkebunan kelapa sawit berdampak pada terhambatnya inovasi dalam produktivitas industri hilir. Karenanya, sebagai salah satu cara mendorong inovasi, dia mendorong agar pemerintah bisa menyusun kebijakan yang mengarah pada pemberian insentif industri sawit hilir.

Ia pun menuturkan bahwa kepemilikan lahan petani swadaya telah mencapai sekitar 4,2 juta hektare. Namun di sisi lain, interaksi petani swadaya masih berada dalam pola produksi yang tradisional. Contohnya, untuk manajemen pengolahan lahan, pembibitan, pemupukan dan status lahan.

“Perkebunan sawit bakal semakin produktif ketika diolah secara profesional seperti korporasi,” ujar Danang.

Sementara dari sisi jumlah tutupan lahan hutan, Indonesia tercatat memiliki hutan sebesar 52%, jauh lebih besar dari Amerika Serikat 48% dan Inggris 13%.

Sementara, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan inovasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Meski peringkat Ease of Doing Business dari World Economic Forum meningka dengan penghitungan yang hanya terfokus di Jakarta dan Surabaya.

Sedangkan data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukan bahwa akses lahan di ibukota Sumatera dan Riau masih berada di bawah rata-rata nasional 38,21%. “Hampir semua daerah produsen kelapa sawit masih kesulitan,” tutur Bhima.

Padahal, kelapa sawit merupakan komoditas strategis dengan penyerapan 8,2 juta tenaga kerja dengan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor tersebut mencapai 4 kali lebih tinggi dari garis kemiskinan, menurut hitungan Indef.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengungkapkan pemerintah ingin melakukan pendataan komprehensif agar penggunaan lahan petani swadaya dan juga perusahaan bisa lebih optimal. Namun karena keterbatasan anggaran, dia menyarankan agar Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit mendanai keperluan pendataan luas perkebunan.

Dengan begitu, identifikasi penggunaan lahan yang masuk kawasan hutan bisa diperjelas. Jika ada kejelasan, relokasi petani swadaya pun bisa dilakukan. “Kegiatan perizinan perkebunan di daerah menjadi lebih mudah diatur,” kata Bambang.

Jika kepemilikan lahan sudah dilakukan, langkah selanjutnya ialah mendorong petani atau pengusaha sawit melakukan sertifikasi. Dimana sertifikasi itu diperlukan untuk membantu pemasaran produk sawit Indonesia di pasar dunia.

sumber: katadata.co.id