Ekspor Minyak Sawit Tercekik Aturan Impor Global

Ekspor Minyak Sawit Tercekik Aturan Impor Global

Pengenaan tarif tinggi atas komoditas sawit yang diberlakukan sejumlah negara mencekik neraca dagang Indonesia.

Perdagangan Indonesia tercatat selalu defisit pada Januari, Februari, April, dan Mei 2018. Defisit terbesar terjadi pada April sebesar US $1,6 miliar dan berlanjut pada Mei 2018 sebesar US $1,51 miliar (sekitar Rp21,36 triliun).

Salah satu penyebabnya adalah turunnya ekspor minyak sawit yang terus merosot dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Pemerintah terus memutar otak untuk menggenjot ekspor minyak sawit, berikut dengan turunannya.

Langkah terbaru yang tengah direncanakan Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto adalah memberikan insentif berupa menurunkan atau meniadakan dana pungutan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk produk minyak goreng.

Airlangga berargumen, selain memberatkan, sebagai produk hilir dari kelapa sawit, minyak goreng seharusnya tidak dikenakan pungutan BPDP.

“Fatty alcohol dan produk hilir yang lain tidak kena, ya tentu minyak goreng yang juga termasuk produk hilir sewajarnya itu diangkat agar ekspornya meningkat,” kata Airlangga dalam Katadata, Jumat (13/7/2018).

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDP Kelapa Sawit mengatur, ekspor bagi produk minyak goreng dan biodiesel yang dikemas dengan berat bersih kurang dari 25 kilogram terkena pungutan ekspor US $20 per metrik tonnya.

Selain minyak goreng, Airlangga juga mengusulkan penurunan tarif pungutan ekspor cangkang sawit. Merujuk PMK Nomor 30 Tahun 2016, tarif yang berlaku untuk ekspor cangkang sawit mulai 1 Maret 2018 dan seterusnya adalah sebesar US $10 per metrik ton.

Tarif tersebut memang naik jika dibandingkan periode 1 Maret 2016 hingga 1 Maret 2017 yang hanya US $3 per metrik ton dan periode 1 Maret 2017 sampai 28 Februari 2018 yang sebesar US $5 per metrik ton.

Namun, Airlangga tidak bisa menjelaskan lebih jauh wacana besaran potongan yang dimaksud, pun kapan insentif bisa segera dilakukan. “Nanti akan dibahas lagi detailnya seperti apa,” ungkapnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor CPO Januari hingga Mei 2018 mencapai US $8,37 miliar, atau turun dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US $9,92 miliar.

Ada tiga faktor yang berkontribusi pada penurunan ekspor ini.

Pertama. Sejak Maret 2018, India memberlakukan tarif impor minyak kelapa sawitnya menjadi 44 persen. Lonjakan itu hanya berselang empat bulan dari kebijakan kenaikan tarif minyak sawit sebanyak 100 persen, dari 15 persen menjadi 30 persen.

Dilaporkan Reuters, India beralasan keputusannya adalah untuk melindungi petani setempat agar dapat mengangkat pasokan domestiknya.

Tentu saja kebijakan ini membuat Indonesia ketar-ketir. India adalah pasar minyak sawit terbesar Indonesia. Pada 2017 saja, permintaan minyak sawit untuk India meningkat 1,84 juta ton dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo sudah menyampaikan keluhan ini secara langsung kepada Perdana Menteri India Narendra Modi yang melakukan kunjungan ke Indonesia pada akhir Mei 2018. Namun, belum ada respons dari India terkait keluhan ini.

Kedua, perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). ketegangan dua negara ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi volume ekspor minyak sawit ke keduanya.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, ekspor minyak sawit ke AS pada Mei 2018 masih naik 18 persen jika dibandingkan dengan April 2018. Begitu juga dengan Tiongkok yang naik 6 persen pada periode yang sama.

Hanya saja, kenaikan tersebut tetap tidak bisa menopang pergerakan harga CPO yang melonjak pada rentang US $650 hingga US $670 per metrik ton, per Mei 2018.

Lonjakan terjadi karena meningkatnya pasokan minyak sawit global, termasuk dari Indonesia. Sementara, pilihan untuk mendistribusikan minyak sawit terbatas di sejumlah negara.

Ketiga, ancaman Uni Eropa untuk menghapus penggunaan biodiesel dari kelapa sawit pada 2030.

Rencana itu termuat dalam teks revisi Renewable Energy Directive (RED II) yang menyebutkan kesepakatan Uni Eropa untuk mencapai target energi terbarukan sebesar 32 persen pada 2030 dari saat ini sebesar 27 persen.

Kesepakatan baru itu menggantikan rancangan proposal energi yang akan menghapus minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar biofuel pada 2021. Kondisi ini yang kemudian membuat citra minyak sawit perlahan digantikan oleh minyak nabati dunia, baik dari jenis rapeseed maupun biji bunga matahari.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tengah berupaya memperjuangkan minyak sawit di Uni Eropa melalui beragam diplomasi.

Presiden Jokowi bahkan akan membentuk satuan tugas khusus untuk menghadapi keputusan dari Uni Eropa tersebut.

Menyisir data BPS, Belanda, Spanyol, dan Italia adalah tiga negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar Indonesia untuk kawasan Uni Eropa. Jika nilai ekspor ketiga negara itu digabungkan, maka jumlahnya akan berada sedikit di bawah nilai yang diperoleh dari Tiongkok.

Namun, pada periode Januari-April 2018, nilai ekspor ke tiga negara ini mengalami penurunan. Ekspor ke Spanyol turun sekitar 36 persen dibanding periode yang sama pada 2017.

Kendati demikian, ada pertumbuhan ekspor menuju negara-negara Uni Eropa lainnya. Ekspor menuju Belgia, misalnya. Pada Januari-April 2018, nilainya naik tiga kali lipat dibanding periode yang sama pada 2017. Ekspor ke Inggris pun naik sebanyak 55 persen pada 2018.

Selain mempertimbangkan pemberian insentif bagi produk minyak sawit, pemerintah juga tengah menimbang penambahan volume ekspor ke kawasan Afrika.

GAPKI melihat ada potensi kebutuhan produk sawit di Afrika yang cukup tinggi. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan ekspor sawit ke kawasan Eropa pada Januari-April 2018 yang mencapai 703 ribu ton.

Jika diperinci per bulannya, juga terlihat pola kenaikan ekspor CPO dari 16 persen pada Februari dan 38 persen pada Maret 2018.

Untuk mendukung ini, para pengusaha sawit ini pun meminta pemerintah untuk turut menurunkan tarif ekspor ke kawasan ini. Keterbatasan infrastruktur di kawasan tersebut dikhawatirkan bisa membuat harga jual minyak goreng kemasan menjadi kurang kompetitif, meski ekspornya terus meningkat.

sumber: beritagar.id