Sawit Notif – Pemberlakuan kebijakan mengenai para produsen sawit yang wajib memasok kebutuhan produk sawit dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) telah mengundang berbagai respon dari pihak terkait.
Salah satu yang menyatakan keberatan berasal dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit (APKASINDO). Ketua Umum APKASINDO, Gulat Manurung menyampaikan kekhawatirannya tentang potensi kebijakan yang dapat mengakibatkan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menekan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.
Dalam keterangannya yang dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (27/01), Gulat menilai kebijakan tersebut hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng, tetapi dengan mengorbankan para petani kelapa sawit.
Melambungnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ternyata tidak memberi keuntungan yang signifikan bagi para petani, sebab kenaikan harga CPO beriringan dengan kenaikan harga pupuk. Terhitung sejak Januari 2021 hingga Januari 2022, Gulat menyebutkan kenaikan harga pupuk mencapai sekitar 185%.
Solusinya, menurut Gulat, pemerintah dapat membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (CIF Rotterdam).
Pendapat lain datang dari Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad. Ia juga menilai kebijakan DMO dan DPO sangat berpotensi menekan harga TBS dan pada akhirnya, kesejahteraan petani pun menurun.
Lebih lanjut, jika harga TBS petani jatuh di bawah harga normal, Tauhid mengkhawatirkan para petani akan enggan merawat kebun sawitnya, lalu petani juga enggan memanen TBS yang dihasilkan kebunnya. Tentu hal ini berakibat pada permasalahan suplai TBS.
Tauhid turut menyoroti pengelompokan 3 golongan harga minyak goreng yang ditetapkan dari kebijakan DMO. Di mana, penetapan harga minyak goreng cenderung sangat turun. Penurunan harga ini dinilai Tauhid , berpotensi menyebabkan terjadinya disparitas harga.
Ia menjelaskan, total produksi CPO dan palm kernel oil (PKO) sekitar 53 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 30 juta ton terserap di pasar ekspor. Dari total ekspor, sekitar 20% atau setara dengan 6 juta ton adalah produk bahan baku minyak goreng.
Sementara, total konsumsi minyak goreng nasional tercatat hanya sekitar 5,6 juta ton. Sehingga Tauhid menyimpulkan masalah utama bukan terletak pada suplai CPO, melainkan kenaikan harga CPO yang dibentuk oleh mekanisme pasar.
Oleh karena itulah, pemberlakuan kebijakan DMO dalam meredam lonjakan harga minyak goreng dinilai kurang tepat. Menurut Tauhid, daripada memberlakukan kebijakan DMO, pemerintah Indonesia dapat mengadopsi kebijakan yang ditempuh Malaysia dalam meredam harga minyak goreng.
Sumber: Kontan.co.id