Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan turunnya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dapat memberikan efek domino kepada ekonomi dalam negeri.
“Berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi terutama di daerah seperti Riau, Kalimantan dan penghasil sawit lainnya. Ketika harga CPO anjlok, maka pendapatan petani turun yang akibatnya mengurangi konsumsi, menahan untuk ambil pinjaman baru,” ujar Bhima kepada Tirto pada Jumat (2/11/2018).
Salah satu akibat dari penurunan harga komoditas perkebunan itu, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 diprediksi International Monetary Fund (IMF) menurun menjadi sebesar 5,1 persen.
Selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi, penurunan harga sawit juga berdampak pada kinerja ekspor dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Bhima menyebut total ekspor non-migas disumbang dari minyak sawit sebesar 15 persen. Berdasarkan Bank Dunia, sejak Januari-September 2018 harga minyak kelapa sawit mentah turun 16,6 persen.
“Ketika itu terjadi, maka efeknya langsung ke pertumbuhan ekspor secara total. Jadi korelasinya cukup erat antara perkembangan harga komoditas sawit dengan naiknya defisit transaksi berjalan,” ujarnya.
GAPKI Minta Pungutan Ekspor Perlu Diturunkan
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan menurunkan pungutan ekspor kelapa sawit dan berbagai produk turunannya untuk dapat menaikkan harga CPO.
Sejak 2015, pemerintah menetapkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah sebesar 50 dolar AS per ton dan 30 dolar AS untuk produk turunan CPO (crude palm oil). Tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, serta Peraturan Presiden(Perpres) nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Pemerintah harus menurunkan pungutan ekspor. Pertama, untuk stok segera turun sehingga terjadi sentimen positif. Selanjutnya harga CPO bisa naik,” ujar Joko kepada Tirto pada Jumat (2/11/2018).
Joko merekomendasikan ada penurunan 20 dolar AS per ton untuk setiap kategori. contohnya untuk minyak kelapa sawit mentah menjadi 30 dolar AS per ton, produk turunan CPO (misal, minyak sawit RBD/refined, bleached, and deodorized) 10 dolar AS per ton. Untuk produk dalam kemasan, bisa dibebaskan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat sektor kelapa sawit menghadapi penurunan harga crude palm oil (CPO) sebesar 24 persen dari 636 dolar AS per ton menjadi 485 dolar AS per ton hingga akhir Oktober 2018.
Dalam acara Indonesian Palm Oil Conference and 2019 Price Outlook di Bali International Convention Center (BICC) pada Kamis (1/11/2018), pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebut bahwa untuk menaikan harga minyak kelapa sawit mentah ada beberapa arah kebijakan.
Pertama, dari sisi penawaran, akan dilakukan moratorium kelapa sawit, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH), Kebijakan Satu Peta, penguatan Indonesian Suistanable Palm Oil (ISPO), dan penyesuaian pungutan ekspor kelapa sawit dan berbagai produk turunannya.
“Kedua, dari sisi permintaan, akan dilakukan optimalisasi kebijakan mandatori Biodiesel 20 persen (B20) dan kebijakan hilirisasi produk kelapa sawit,” ujar Darmin dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, pemerintah juga membuka kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang telah diimplementasikan sejak 13 Oktober 2018. Program ini dioptimalkan mengingat posisi petani kelapa sawit yang menjadi elemen penting dari keberlanjutan sektor kelapa sawit.
Ada juga untuk mengatasi kampanye hitam di pasar global, pemerintah membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) bersama Malaysia untuk menjaga daya saing secara kolektif di pasar global dan menyelesaikan kendala perdagangan di beberapa negara destinasi ekspor, seperti India, Pakistan, Cina, Eropa, dan Afrika.
sumber: tirto.id