Harga CPO Malah Loyo Saat AS-China Gencatan Senjata, Ada Apa?

Pada perdagangan hari ini Senin (3/12/2018), harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Februari 2019 di Bursa Derivatif Malaysia terkoreksi 0,59% level MYR 2.028/ton, hingga pukul 11.30 WIB atau penutupan perdagangan sesi 1.

Harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini pun memutus penguatan 3 hari berturut-turut sebelumnya.

Harga CPO seharusnya mendapat energi positif dari hasil positif pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 di Argentina pada akhir pekan lalu.

Sayangnya, harga CPO di awal pekan ini tak kuasa menahan sentimen negatif yang datang dari pembebasan pungutan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, pelaku pasar juga nampaknya masih mengkhawatirkan meningkatnya pasokan minyak kelapa sawit di Malaysia.

Di Buenos Aires, Washington-Beijing mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.

Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.

Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.

Perkembangan ini lantas melambungkan harga minyak kedelai. Komoditas agrikultur ini memang menjadi salah satu produk yang paling terdampak dari memburuknya hubungan perdagangan antara AS-China.

Dengan gencatan senjata saat ini, masih ada harapan Washington-Beijing bisa mengakhiri perang dagang untuk selamanya. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa arus perdagangan kedelai akan kembali lancar ke depannya, tanpa hambatan bea masuk.

Hingga siang ini, harga minyak kedelai kontrak Desember 2018 di Chicago Board of Trade (CBoT) melambung 1,2%. Ketika harga minyak kedelai naik, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut menguat, karena dua komoditas ini berebut pangsa pasar minyak nabati global.

Sayangnya, rumus itu hari ini tidak berlaku. Pelaku pasar kembali dibuat khawatir oleh melambungnya stok minyak kelapa sawit Malaysia di penghujung tahun 2018. Produksi Negeri Jiran memang diekspektasikan meningkat di 2 bulan terakhir tahun ini, sesuai dengan pola musimannya.

Di saat produksi sedang kencang, permintaan malah cenderung lesu. Ekspor produk minyak kelapa sawit Malaysia dilaporkan turun 2,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,04 juta ton pada periode 1-25 November, berdasarkan survei kargo yang dilakukan Intertek Testing Services.

Dari survei lainnya yang dilakukan oleh Societe Generale de Surveillance (SGS), ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran juga tercatat melemah 1% MtM ke 1,07 juta ton di periode yang sama.

Kedua hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran belum mampu pulih pasca melemah sebesar 14,1% MtM pada bulan Oktober. Lesunya permintaan ini lantas mengonfirmasi kekhawatiran pelaku pasar akan permintaan yang loyo hingga akhir tahun ini.

Penyebab lesunya permintaan adalah stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) yang sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.

Sentimen negatif lainnya adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0 per ton alias dinolkan, menyusul harga komoditas ini yang merosot.

Dengan adanya “pembebasan” pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan, atau minimal setara, dibandingkan dengan produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan. Harga CPO semakin tidak punya bahan bakar untuk menguat.

sumber: cnbcindonesia.com