Sawit Notif – Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) memantau kondisi buruh perkebunan kelapa sawit yang terlihat semakin memburuk di masa pandemi Covid-19. “Selama pandemi Covid-19, buruh perkebunan kelapa sawit mengalami kesulitan pada tiga aspek utama, yaitu perlindungan kesehatan, jaminan pendapatan dan pekerjaan, serta akses terhadap kebutuhan pokok. Pandemi semakin jelas menunjukkan kerentanan yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan kelapa sawit”, jelas Koordinator TPOLS, Rizal Assalam yang dikutip dari Infosawit.com.
Bersamaan dengan pihak pemerhati industri sawit lain, Zidane dari Sawit Watch menyatakan bahwa meskipun perkebunan sawit lokasinya terpencil, lantas tidak menjamin buruh akan terbebas dari resiko terpapar. Hal tersebut dibuktikan pada tahun 2020 saja misalnya, sejumlah buruh perkebunan sawit dilaporkan terpapar virus Covid-19. Sementara di bulan Juli 2021 lalu, Zidane juga mengaku menerima sekitar 150 laporan kasus positif Covid-19 dari sejumlah buruh sawit di Kalimantan dan Papua.
Zidane juga menilai, patokan angka kasus yang tidak sebesar di perkotaan tetap akan berpotensi menanjak lebih besar apabila terus dibiarkan. Bahkan Sawit Watch juga mengkhawatirkan laporan jumlah kasus di perkebunan layaknya seperti fenomena gunung es, mengingat akses perkebunan sawit yang sulit menjangkau uji PCR, hingga alat perlindungan diri yang sesuai dengan anjuran protokol kesehatan Pemerintah.
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) turut memantau permasalahan ini. Diketahui, perkebunan sawit di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, mayoritas perusahaan pengelola tidak menyediakan masker medis dan alat perlindungan diri sesuai rekomendasi WHO. “Situasi ini mengulang cerita buruk standar kesehatan dan keselamatan kerja, terutama mengenai alat pelindung diri yang tidak pernah sesuai resiko kerja dan tidak selalu tersedia setiap saat,” kata Ismet Inoni dari GSBI.
Lebih jauh Ismet menilai, sebagian besar pekerjaan di perkebunan sawit memang menggunakan jarak yang tidak berdekatan antara sesama pekerja, namun selayaknya hal itu tidak bisa dijadikan alasan oleh perusahaan hingga lalai memenuhi kewajibannya dalam mencegah penyebaran dan meminimalisir resiko terpapar.
Dianto Arifin mewakili Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI) menyatakan, bahwa selama pandemi Covid-19, para buruh sawit juga mengalami kesulitan membeli bahan pokok dengan harga yang terjangkau, dikarenakan mobilitas buruh dibatasi oleh perusahaan, sehingga para buruh harus membeli kebutuhan tersebut di area perkebunan dengan harga yang lebih mahal.
Disampaikan oleh Pengurus Serikat Pekerja Nasional wilayah Kalimantan Timur, Kornelis WG, permasalahan buruh lainnya adalah mengenai kepadatan pemukiman buruh, dan kewajiban mengikuti apel pagi yang juga masih terselenggara tentu menambah potensi penyebaran virus. “Selain itu, buruknya infrastruktur jalan dan akses fasilitas publik telah lama menyulitkan buruh perkebunan sawit dan keluarganya mendapatkan layanan kesehatan, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19,” ujar Kornelis.
Menurut Kornelis, buruh harian lepas (BHL) yang mayoritasnya perempuan, adalah kelompok yang paling rentan. “Perempuan BHL pergi dan pulang kerja berhimpitan di atas truk penjemput dan bekerja tanpa alat fasilitas pelindung diri yang memadai,” tandasnya.
Sumber: Infosawit.com.