Apkasindo: Di Indonesia Rugi, Petani Jual Sawit Ke Malaysia

Petani Jual Sawit

Sawit Notif – Ini tanggapan Mendag dan Apkasindo terkait viralnya unggahan petani menjual sawit ke Malaysia, lantaran harga tandan buah segar (TBS) sawit di dalam negeri belum juga naik, serta membuat pasokan di pabrik kelapa sawit penuh.

Mengutip nusantaratv.com, Sementara, Menteri Perdagangan (Mendag) RI Zulkifli Hasan (Zulhas)  menanggapi hal tersebut dengan mengatakan, “Wajar dong (petani jual ke Malaysia) di sana harganya mahal Rp 4.500 per kilogram. Kita cuma Rp 1.000 sampai Rp 1.200/kg. Tentu itu karena ada kebijakan kemarin berdampak ke sana,” ucapnya, Senin (4/7).

Kemudian, menanggapi ucapan dari Menteri Perdagangan (Mendag), Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan bahwa ”hal itu wajar, dan saya pikir betul juga. Ini kan masalah hidup kita untuk biaya keluarga. Sepanjang yang kami jual adalah hasil keringat kami saya pikir itu harus dimaklumi juga,”ungkapnya, dikutip dari Tempo.co.

Gulat juga menjelaskan bahwa situasi petani menjual sawit ke malaysia dikarenakan harga TBS dalam negeri masih kritis. Menurutnya, pabrik kelapa sawit atau PKS di Indonesia hanya membanderol TBS tidak lebih dari seribu rupiah per kilogramnya.

Sedangkan di Malaysia, petani dapat menjual TBS seharga Rp 3.500 sampai Rp 4.500 per kilogram. Tentunya hal ini lah yang membuat petani dari Aceh sampai Papua panik dan khawatir akan TBS Sawitnya.

Gulat menjelaskan bahwa petani yang nekat menjual TBS ke Malaysia adalah para petani di perbatasan, seperti dari Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah menjual TBS ke Malaysia.

Kemudian, petani di Kalimantan Utara, Gulat mengatakan mereka melakukan pengiriman ke Malaysia melalui jalur sungai. Sedangkan petani dari Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah melalui jalur darat.

Hal ini menurutnya dikarenakan situasi sulit yang dirasakan oleh para petani yang mendorong mereka menjual sawit ke Malaysia. Lantaran rendahnya harga TBS sawit di dalam negeri membuat petani kesulitan membayar uang sekolah anak-anak atau juga biaya pengobatan untuk keluarga mereka yang sakit.

Sumber: nusantaratv.com , Tempo.co.