Jakarta – Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menginginkan agar komoditas sawit jangan sampai masuk dalam negosiasi pembahasan Perjanjian Kemitraan Komprehensif RI-Uni Eropa (CEPA) yang sedang dirundingkan saat ini.
“Kami mendorong pembenahan internal terlebih dahulu sebelum adanya perundingan tentang sawit,” kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional Yuyun Harmono di Jakarta, Senin (19/2/2018)
Menurut Yuyun, pembenahan internal diperlukan karena pemberian konsensi kebun sawit oleh pemerintah pada saat ini dinilai kerap tumpang tindih seperti dengan kawasan gambut.
Dian mengakui, sebenarnya pemerintah sudah melakukan beberapa langkah guna membenahi perkebunan kelapa sawit domestik, tetapi ia mengingatkan adanya kecemasan dari Eropa mengenai sawit yang diimpor untuk produksi biofuel.
Hal tersebut, lanjutnya, karena ada kajian yang menyatakan bahwa emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan dari perkebunan sawit ternyata dinilai lebih parah daripada emisi yang disebabkan oleh energi tenaga fosil seperti BBM.
Selain itu, ujar dia, ada pula kekhawatiran bahwa perundingan CEPA akan mengakomodir baik kepentingan eksportir Indonesia dan importir Eropa sehingga akan saling memudahkan masuknya sawit dari Indonesia ke Eropa, padahal masih banyak persoalan mengenai hal tersebut.
“Karena itu, jangan masukkan kelapa sawit ke dalam perjanjian perdagangan,” katanya.
Dia menambahkan, ekspor sawit yang lebih besar akan memberikan dampak sosial dan ekonomi yang juga lebih besar daripada pajak yang didapatkan pemerintah dari perusahaan sawit.
Untuk itu, ia menyatakan Walhi dan berbagai LSM lainnya agar dapat sesegera mungkin agar dapat memberlakukan moratorium perizinan kebun kelapa sawit agar dapat dilakukan pembenahan yang benar-benar terkait pengelolaan komoditas tersebut.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia meminta pemerintah meningkatkan subsidi untuk ketahanan pangan yang dapat dialihkan dari berbagai alokasi yang dinilai kurang tepat, seperti pengelolaan dana sawit untuk subsidi biofuel atau industri bahan bakar nabati.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin menilai konversi lahan dan sistem subsidinya untuk penyediaan biofuel tidaklah tepat.
Ia mengingatkan bahwa kondisi ketahanan pangan di banyak masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan masih sangat memprihatinkan, seperti kondisi yang terjadi di Asmat, Papua.
Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan insentif kepada sejumlah perusahaan di industri bahan bakar nabati (biofuel).
LSM itu menyebutkan, sepanjang Januari-September 2017, ada lima perusahaan sawit besar yang mendapatkan kucuran dana sekitar Rp7,5 triliun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sumber: industry.co.id