Program Replanting Kelapa Sawit Diminta Dikaji Ulang, Ini Sebabnya

Program Replanting Kelapa Sawit Diminta Dikaji Ulang, Ini Sebabnya

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Darmayanti Lubis menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang program peremajaan kebun kelapa sawit rakyat (replanting). Dalam pandangannya, dana Rp 25 juta per hektare (maksimal 4 hektare yang ditanggung pemerintah) untuk petani ternyata tak cukup. Belum lagi syarat pencairan dana tersebut tak mudah, salah satunya petani harus punya sertifikat lahan.

“Petani punya rinciannya. Angka segitu tidak cukup, jadi mereka harus keluar uang lagi kalau mau replanting. Di sisi lain, kebanyakan petani juga sertifkatnya sudah digadaikan untuk modal bertani. Jadi bagaimana itu. Jadi replanting itu, yang mau mengerjakan siapa?” katanya seperti dikutip di Jakarta, Senin (10/9).

Menurutnya, nasib petani sawit saat ini di ujung tanduk, sehingga pemerintah harus segera turun tangan. Harga sawit murah sementara biaya produksi tinggi, serta tanaman sawit sudah berumur tua, merupakan dua di antara sekian banyak persoalan yang dihadapi petani saat ini.

“Ini dialami petani sawit hampir di seluruh Indonesia, di Palembang, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan,” kata Darmayanti.

Darmayanti dan anggota DPD lainnya beberapa waktu lalu melakukan rapat dengar pendapat dengan jajaran Direksi dan Manajer PTPN VII Palembang. Di sana terungkap bahwa harga kelapa sawit produksi petani ternyata ditentukan oleh mekanisme pasar bebas yang bergantung pada permintaan dan penyaluran, kualitas Tandan Buah Segar (TBS), dan harga jual ekspor crude palm oil (CPO).

Imbas jatuhnya harga buah sawit, petani dengan lahan sekira 5 hektare, saat ini hanya bergaji Rp 2 juta per bulan. Angka tersebut sangat jauh dari cukup, karena harus dibagi lagi untuk biaya perawatan kebun sawit, seperti membeli pupuk. Pupuk sendiri harganya juga melambung.

“Petani di Labuhan Batu (Sumatera Utara) sampai ada yang membiarkan begitu saja kebunnya, karena sudah tidak sanggup. Kalau ini dibiarkan, tentu akan semakin banyak pengangguran,” tegas anggota DPD perwakilan Sumatera Utara itu.

Untuk diketahui, perang dagang antara Amerika Serikat – China membuat permintaan CPO Indonesia menurun. China mengurangi impor CPO, sementara Eropa tidak menerima CPO dari Indonesia, menjadi penyebab jatuhnya harga sawit di tanah air.

Sementara itu, pemerintah menargetkan peremajaan 185.000 ribu hektare kebun sawit rakyat di 2018. Untuk menyukseskan program ini, pemerintah memberi bantuan Rp 25 juta per hektare lewat Badan Pengelola Dana Keuangan Kepala Sawit (BPDPKS) dan Kementerian Pertanian.

Namun hingga melawati pertengahan tahun ini, baru belasan ribu hektare sawit yang direplanting. Ada kesan saling lempar “bola” antara BPDPKS dengan Kementerian Pertanian.

sumber: merdeka.com