Petani Sawit Kritik Aturan Baru Pungutan Ekspor Minyak Sawit

Serikat Petani Kelapa Sawit(SPKS) menuding keputusan pemerintah memangkas pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) tidak disertai studi yang matang. Keputusan tersebut dinilai tidak memperhitungkan anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.

Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, pemerintah menetapkan jika harga CPO kurang dari US$570 per ton maka tidak dikenakan kutipan. Namun, jika harga CPO antara US$570 hingga US$619 per ton akan dikenakan kutipan sebesar US$25 per ton.

Kemudian, jika harga CPO lebih dari US$619 per ton maka akan dikenakan kutipan sebesar US$50 per ton. “SPKS mencurigai ada industri biodiesel yang bermain-main dengan keputusan itu. Yang sudah keasyikan mendapatkan subsidi dari sektor hulu perkebunan karena keputusan menteri keuangan tersebut masih mencantumkan kutipan yang sangat besar dan berdampak bagi rendahnya harga TBS ke depannya,” ujar Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (6/12).

Di sisi lain, porsi distribusi dan pemanfaatan dana pungutan untuk petani sawit tidak seimbang dengan kontribusi dan dampaknya bagi petani sawit. Pasalnya, alokasi untuk subsidi biodiesel jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi peremajaan (replanting) dan peningkatan SDM perkebunan.

Darto merinci SPKS, jika dipungut kutipan sebesar US$50 per ton maka pendapatan petani akan berkurang sebesar Rp124 per kilogram (kg) dengan mengacu harga CPO internasional sebesar US$480 per ton.

“SPKS tetap menyetujui adanya potongan CPO namun hanya sebesar US$10 per ton, dengan catatan dana tersebut dikelola oleh BLU yang bernaung di bawah Kementerian Pertanian,” ujarnya.

Menurut Darto, lambannya program untuk petani selama ini akibat salah urus oleh BPDP-KS yang tidak memahami industri sawit dan lebih memperhatikan industri biodiesel. Tak ayal, realisasi penyaluran dana untuk program petani hanya tiga persen dan sisanya untuk memberikan insentif pada biodiesel.

Selain itu, lanjut Darto, pemangkasan pungutan sawit tidak serta merta akan membantu kenaikan dan stabilitas harga TBS kelapa sawit dari petani. Darto mengingatkan harga TBS di tingkat petani dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya; kondisi produksi, pergerakan harga komoditas lain, dan tata kelola pembelian TBS petani.

Terkait dengan capaian program B20, SPKS menyoroti agar sumber produk bahan baku diperoleh dari petani yang sudah legal. Menurut Darto, industri terkesan mau untung sendiri dengan program B20 mengingat perusahaan biodiesel juga memiliki kebun sawit.

“Kami juga meminta Presiden Jokowi untuk segera memastikan sumber produk B20 itu diperoleh dari perkebunan rakyat. Petani selalu jadi penonton di tengah maraknya industri biodiesel dalam negeri dan seharusnya perkebunan rakyat harus diutamakan. Jika B20 untuk kepentingan nasional maka prioritaskan petani kelapa sawit,”ujarnya.

Berdasarkan perhitungan SPKS, bahan baku B20 diperoleh dari lahan seluas 780 ribu hektar. Jika lahan yang digunakan merupakan kebun rakyat maka petani akan memperoleh nilai tambah. Selama ini, petani sawit selalu menjual ke tengkulak dengan harga yang sangat rendah.

Kepala DepartemenAdvokasiSPKSMarselinusAndry mengungkapkan dengan diterbitkannya aturan peniadaan pungutaneksporCPO, tidak berarti tanggung jawab pemerintah selesai. Namun, perlu ada solusi yang harus dipikirkan oleh pemerintah untuk mengembangkan pasar minyak sawit di dalam negeri, tidak hanya program B20.

Dalam hal ini, pemerintah harus mengembangkan hilirisasi dari industri sawit Indonesia, baik di industri makanan, kosmetik, kesehatan, dan sebagainya.

Menurut Andry, perencanaan pengembangan hilirisasi berbagai industri berbasis minyak sawit sangat relevan dengan agenda moratorium yang akan berjalan di sektor hulu. Pasalnya, kecukupan produksi melalui pendekatan peningkatan produktivitas kelapa sawit dari luas lahan perkebunan sawit akan sangat mendukung permintaan industri dalam negeri maupun ekspor CPO dan turunannya.

“Perbaikan tata kelola BPDP-KS untuk pembangunan berkelanjutan serta pemberdayaan dan tata kelola bagi petani swadaya harus menjadi prioritas untuk mendukung peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat,” tegas Andry.

Sebagai informasi, per 31 Oktober 2018, BPDP-KS telah menyalurkan dana sawit mencapai Rp5,88 triliun dari alokasi tahun ini yang mencapai Rp10,99 triliun. Sekitar 90 persen penyaluran tersebut dialokasikan untuk membayar insentif biodisel yang mencapai Rp5,32 triliun kepada 19 produsen yang ditunjuk pemerintah.

Kemudian, sisanya untuk peremajaan sawit sebesar Rp341,31 miliar dari alokasi Rp2,34 triliun; riset Rp25,67 miliar dari alokasi Rp213,36 miliar; sarana prasarana Rp289,74 juta dari alokasi Rp213,36 miliar. Selanjutnya, promosi dan kemitraan Rp21,1 miliar dari pagu Rp213,36 miliar; pengembangan SDM Rp15 miliar dari pagu Rp213,6 miliar; dan kegiatan pendukung berupa surveyor, pengelolaan dana, dan dukungan manajemen sebesar Rp160,27 miliar dari alokasi Rp324 miliar.

Sepanjang periode yang sama, BPDP-KS telah mengumpulkan Rp12,77 triliun pungutan ekspor sawit atau melampaui proyeksi sepanjang tahun yang hanya sebesar Rp10,76 triliun.

sumber: cnnindonesia.com