Sawit Notif – Uni Eropa (UE) menganggap perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat merusak lingkungan. Upaya ini dinilai sebagai kepentingan UE dalam melindungi pengusaha minyak nabati lokal yang dibungkus dengan isu lingkungan, sehingga melarang impor CPO.
Padahal, perkebunankelapa sawit turut membantu pengurangan emisi. Sebab, tanaman sawit memiliki daun yang mengandung klorofil sehingga turut menghasilkan oksigen.
Mengutip Kaltim.prokal.co, Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan bahwa Kalimantan Timur telah berjasa besar dalam penurunan dan pengurangan emisi di permukaan dunia. Maka itu, Indonesia peringkat ketiga yang memiliki lahan terbesar di dunia setelah Brasil dan Kongo.
Brasil memiliki 5 juta kilometer persegi hutan tropis, Kongo memiliki kurang lebih dua jutaan kilometer persegi hutan hujan tropis dan Indonesia memiliki 1,8 juta kilometer persegi. Hutan itu yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan oksigen.
Isran menjelaskan bahwa tanaman kelapa sawit penghasil oksigen terbesar, namun karena sawit ini homogen (monokultur) dan sifatnya yang tidak disukai oleh Eropa, sebab menurut Eropa katanya dapat merusak hutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB University, Meika Syahbana Rusli mengatakan sawit termasuk tanaman dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Karena itu, kemampuan serapan CO2 sawit tergolong lebih tinggi ketimbang tanaman lainnya, dikutip dari Kompas.id.
Maka itu, pemerintah terus mendorong keberlanjutan industri sawit untuk keperluan energi. Hal ini dilakukan dengan moratorium kebun baru, mendorong kepemilikan sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi pengusaha sawit, memaksimalkan pemanfaatan lahan kritis atau bekas tambang, dan penelitian untuk mengembangkan produktivitas sawit.
Sumber: Kaltim.prokal.co, Kompas.id.