Pengajuan PSR di Sumut Tersandung SK Menhut 579

Pengajuan PSR di Sumut Tersandung SK Menhut 579

Sawit Notif – Ketua Koperasi Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) Kesepakatan, Kabupaten Asahan, Syarifuddin Sirait mengatakan para anggotanya, yaitu para petani yang ingin mengajukan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tersandung oleh persoalan lahan dan legalitas, berkaitan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.579/Menhut-II/2014. Beberapa bahkan telah mengantongi legalitas berupa sertifikat tetapi juga diklaim kebunnya berada di kawasan hutan. Hal ini disampaikan Syarifuddin dalam Indonesian Palm Oil Stakeholders (IPOS) Forum 2021, mengutip Sawitindonesia.com.

Dalam koperasi yang dipimpinnya, ia mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 362 hektare lahan sawit yang butuh peremajaan, mengingat usia tanaman pada lahan tersebut telah memasuki masa uzur. 

Namun permasalahan timbul disebabkan dari 362 hektare tadi, terdapat 88 hektare luas kebun yang masuk dalam kawasan hutan. Akibatnya, 88 hektare kebun tersebut tersandung izin pengajuan PSR. 

Menurut beberapa pihak, persoalan lahan di Sumatera Utara menjadi semakin pelik setelah terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.579/Menhut-II/2014 pada tanggal 24 Juni 2014, tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. 

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof. Sudarsono Soedomo menjelaskan bahwa persoalan kawasan hutan ini seharusnya dapat menjadi perhatian semua pihak, karena banyak kerancuan dalam berbagai beleid yang mengaturnya. Di UU 11/2020 tentang Cipta Kerja terkait pengukuhan kehutanan, ada sejumlah kelemahan yang harus dibenahi. 

Dalam pasal 15 ayat 3, ada penambahan aturan baru menyangkut pengukuhan kawasan hutan. Di ayat ini disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit. 

“Kalimat tadi sebetulnya tidak salah, tetapi klausul berpotensi disalahgunakan. Dalam penataan batas kawasan hutan harus diselesaikan hak pihak ketiga. Jadi, tetap harus dilakukan dengan mendatangi lapangan,” Ujarnya.

Sudarsono menambahkan, dasar lahirnya SK.579/2014 dari PP 10/2020 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Sebelumnya telah terbit SK.44/Menhut-II/2005 yang menunjuk kawasan hutan seluas 3.742.120 Ha. Namun usia SK.44/2005 hanya delapan tahun setelah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung melalui Putusan 47/P/Hum/2011 pada 23 Desember 2013.

“Setelah itu, lahirlah SK.579/2014 yang menyebutkan kawasan hutan di Sumut seluas 3.055.785 ha. Namun terbitnya aturan ini malah menimbulkan persoalan. Dan SK.579 ini masih bersifat penunjukan. Artinya belum final,” jelas Sudarso pada kesempatan yang sama. 

SK.579 dinilai tidak langsung menyatakan penunjukan atau penetapan kawasan hutan di Sumut, sehingga statusnya terlihat samar. Dalam presentasi berjudul Indonesian Palm Oil: Paradox Kawasan Hutan Masuk Kebun Sawit, Sudarsono turut menjelaskan bahwa terdapat dokumen Renstra Dishut Sumut 2019 – 2023 halaman II-42 tertulis dari panjang batas kawasan hutan 15.736 km, baru 6.479 km yang telah ditata batas. 

“Artinya lebih dari separuh belum ditata batas. Hal ini mengindikasikan tata batas belum selesai. Jika (lahan) belum selesai tata batas, ini mengindikasikan bukan kawasan hutan. Saya yakin sebagian besar itu belum sampai temu gelang karena ini menjadi persyaratan untuk proses kawasan hutan,” ungkapnya.

Sumber: Sawitindonesia.com