Pemerintah Indonesia melobi India agar menurunkan tarif impor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), setelah negara tersebut menaikkan tarif hingga 44 persen. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah berusaha menyelesaikan masalah ini secara bilateral. Hari ini, Menteri Enggar akan mengirim surat ke pemerintah India agar mengkaji ulang penerapan tarif tersebut.
“Mereka berjanji akan membahasnya di kabinet,” ujar Enggar di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Biaya pemenuhan bahan pokok, seperti minyak goreng, sabun dan kebutuhan lain dipastikan naik. Bagi pengusaha Indonesia, kenaikan tarif ini akan membuat mereka kesulitan ekspor karena pendapatan yang terus menurun. Enggar mengakui, surplus perdagangan dengan India cukup besar sehingga dirinya tidak mempertimbangkan untuk melakukan retaliasi (aksi balasan). Selain itu, kenaikan tarif juga dikenakan pada negara lain.
“Kita surplusnya besar dan ini diberlakukan pada negara lain. Tidak diskriminatif,” ujar dia.
Sebelumnya diberitakan, India menaikkan tarif impor CPO pada level tertinggi sejak lebih dari satu dekade. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan pada petani lokal mereka. Pada November 2017, India menaikkan tarif impor menjadi 30 persen dari sebelumnya hanya 15 persen. Kemudian pada awal bulan ini, kembali dinaikan menjadi 44 persen per kilogram.
Angka ini sebenarnya masih dalam batas yang tidak melanggar ketentuan dalam World Trade Organization (WTO) yang mengizinkan pemerintah menaikan tarif impor hingga 300 persen. India adalah negara importir terbesar CPO asal Indonesia dengan permintaan yang terus naik. Pada 2017 ekspor Indonesia mencapai 7,6 juta ton sepanjang 2017, atau meningkat 1,84 juta ton dibanding tahun 2016 yang sebesar 5,7 juta ton.
Rata-rata, negara ini membutuhkan hingga 27 juta ton minyak nabati per tahun dari seluruh dunia. Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, kenaikan tarif impor CPO dan olahan ke India akan menghambat ekspor dan membuat persaingan harga menjadi tidak kompetitif. Beban pengusaha juga bertambah karena dibebani bea ekspor yang cukup tinggi.
“Pemerintah perlu berupaya keras agar masalah ini bisa diselesaikan,” ujar dia.
Sumber: Anadolu Agency