Lupakan Perang Dagang Amerika-China, Perang Dagang Malaysia-Indonesia-Uni Eropa di Depan Mata

Lupakan Perang Dagang Amerika-China, Perang Dagang Malaysia-Indonesia-Uni Eropa di Depan Mata

Sekarang saatnya untuk melupakan perang dagang Amerika-China, mengingat perang dagang Malaysia-Indonesia-Uni Eropa ada di depan mata. Proposal Uni Eropa untuk tidak lagi mengakui biofuel sebagai sumber energi terbarukan, bertentangan dengan Malaysia dan Indonesia, yang merupakan dua pemain terbesar di industri minyak sawit senilai US$39 miliar.

Sebuah perang dagang pecah antara Uni Eropa dan produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia, atas proposal untuk melucuti biofuel dari menu di sumber energi terbarukan yang dapat digunakan negara-negara anggota untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka.

Yang menjadi masalah dalam perang dagang Malaysia-Indonesia-Uni Eropa adalah industri minyak sawit senilai US$39 miliar ini. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen terbesar di dunia, yang hasilnya digunakan dalam berbagai hal mulai dari bahan bakar, kosmetik, hingga kue.

Bulan lalu, Luhut Pandjaitan—Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan letnan terdekat Presiden Joko Widodo—memperingatkan akan membalas jika pemerintah merasa bahwa Uni Eropa—yang merupakan importir minyak sawit terbesar kedua—telah membatasi komoditi itu demi hasil panennya sendiri.

Para pengamat lingkungan hidup yang menentang negara ekonomi berkembang besar, dengan memperdebatkan kekhawatiran terhadap deforestasi dan emisi karbon, terkesan berlebihan dan hanya untuk proteksionisme, yang menyangkal pendapatan para petani kecil. Pemerhati lingkungan berkata bahwa menanam kelapa sawit berkontribusi terhadap deforestasi dan emisi karbon.

“Minyak kelapa sawit masih menjadi penyebab utama deforestasi,” kata Kiki Taufik, kepala global kampanye hutan Greenpeace Indonesia. “Ini adalah tanggapan langsung terhadap kegagalan industri dalam mengatasi masalah.”

Minyak sawit telah lama menjadi kambing hitam bagi para aktivis, mendorong serangan balasan konsumen terhadap produk di Eropa. Pada bulan April, rantai belanja Inggris, Islandia, berjanji untuk menghapus minyak sawit dari merek makanannya sendiri.

Pada bulan Januari, Parlemen Eropa mengadakan pemungutan suara untuk masalah ini, yang jika di setujui oleh semua negara anggota dan Komisi Eropa, mereka akan mencoret biofuel sebagai energi terbarukan.

Itu merupakan pukulan besar bagi produsen minyak sawit. Kurang dari separuh minyak sawit yang diimpor Uni Eropa (UE) digunakan dalam bahan bakar.

Terdapat lebih banyak berita buruk bagi produsen minyak sawit. Walaupun sudah ada upaya yang sedang dilakukan untuk mengurangi penggunaan biofuel hingga kira-kira setengah dari tingkat saat ini pada tahun 2030, namun parlemen menginginkan bagian biofuel dari energi terbarukan akan dikurangi menjadi nol dalam tiga tahun.

Duta Besar UE untuk Indonesia, Vincent Guerend, mengatakan bahwa pemungutan suara itu bukan berarti larangan—seperti yang telah dilaporkan secara luas di media Indonesia. Walau parlemen memilih dengan margin empat-perlima untuk menghilangkan biofuel dari daftar energi terbarukan seperti matahari dan angin, namun itu akan tetap tersedia. Selain itu, pemungutan suara itu hanyalah langkah pertama dari proses yang lebih panjang. Pembicaraan tiga pihak antara parlemen, Komisi Eropa, dan negara-negara anggota akan dimulai minggu depan, katanya kepada This Week in Asia. Hasilnya, diharapkan pada bulan September, kemungkinan akan diadakan serah terima dari ketiga pihak.

“Terdapat kemungkinan besar bahwa teks amandemen yang diusulkan tidak akan berakhir seperti sekarang,” kata Guerend. “Minyak sawit tidak akan hilang dari bahan bakar, tetapi tidak akan meningkat juga. Akan stabil.”

Meski begitu, Pandjaitan telah memperingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan lagi pesawat Airbus untuk militer dan untuk maskapai milik negara, Garuda, jika mereka berpikir minyak sawit telah disepakati dengan tidak adil.

Rekan Pandjaitan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, telah mengirim pemberitahuan pada Norwegia dengan mengancam untuk melarang impor ikan, setelah parlemennya memilih untuk mencoret biofuel dari pengadaan pemerintah.

Guerend mengatakan, bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memberikan jaminan bahwa tidak akan ada pembalasan perdagangan kecuali jika ada bukti bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap minyak sawit. Di Uni Eropa, rapeseed adalah raja dari pasar biofuel yang semakin menyusut. Walaupun 60 persen dari semua biofuel sekarang berasal dari rapeseed, permintaan untuk sumber energi itu akan menyusut hingga sepersepuluh pada akhir dekade berikutnya, Komisi Eropa mengatakan. Petani Uni Eropa, produsen rapeseed terbesar di dunia, memperoleh sekitar US$3,2 miliar dari hasil panen setiap tahun. Meski begitu, Guerend berjanji bahwa kesepakatan akhirnya akan adil untuk semua sumber biofuel.

“Kami menanggapi ancaman pembalasan dengan serius,” kata Guerend. “Putusan terakhir akan sesuai dengan WTO.”

Sebagai energi yang kaya dan mudah tumbuh di iklim tropis, minyak sawit dipromosikan sebagai cara yang mudah untuk mengatasi kecanduan dunia terhadap bahan bakar fosil.

Indonesia dan Malaysia menghasilkan 90 persen produksi global minyak sawit, yang diperkirakan akan mencapai sekitar 65 juta ton. Di Indonesia, produksi telah menggelembung lima kali lipat sejak tahun 2000.

Di Indonesia, industri ini secara langsung mempekerjakan hampir 6 juta pekerja, dan setiap tahun menghasilkan pendapatan ekspor sebesar $20 miliar. Setengah juta masyarakat Malaysia mencari nafkah dari menanam kelapa sawit.

Masalahnya adalah menghasilkan lebih banyak minyak sawit berarti membuka lebih banyak lahan. Di Indonesia, perkebunan sawit meliputi area seluas 12 juta hektar, tiga kali lipat luasnya dari tahun 2000. Di Malaysia, perkebunan kelapa sawit menghasilkan 4,5 juta ton.

Di periode yang sama, luas hutan menyusut hampir 15 persen, menurut Global Forest Watch.

Tetapi kebakaran besar-besaran di Indonesia pada tahun 2015 memberikan tanda tanya atas keberlanjutannya.

Kondisi yang kering luar biasa ditambah dengan praktik tebang-dan-bakar, yang seringkali dilakukan oleh petani skala kecil, di Sumatra dan Kalimantan dan di Sulawesi, menghanguskan 2,6 juta hektar hutan dan lahan gambut.

Kabut menyumbat desa-desa, dan sekolah-sekolah terpaksa ditutup, dan pesawat-pesawat juga terpaksa didaratkan. Bank Dunia memperkirakan bahwa kebakaran itu, yang membakar lahan selama berbulan-bulan, merugikan ekonomi Indonesia sebesar US$16 miliar—menggandakan kerugian tsunami tahun 2004.

“Kebakaran tahun 2015 adalah panggilan raksasa agar kita bangkit,” kata Fitrian Andriansyah, yang mengepalai Inisiatif Perdagangan Berkelanjutan nirlaba.

Sampai saat itu, penduduk desa masih menggunduli hutan lindung kecil atau dataran gambut rendah untuk menanam kelapa sawit. Buah kelapa sawit yang matang dapat menghasilkan US$1.200 per tahun per hektar. Pemerintahan Joko Widodo melarang penggundulan untuk perkebunan baru dan mengancam kepala kepolisian setempat dengan penurunan jabatan jika kebakaran terjadi di wilayah mereka.

Terlalu dini untuk mengatakan apakah kebakaran seperti yang terjadi tahun 2015 akan berhasil dihindari di masa mendatang. Kebakaran tahun lalu mencakup sebagian kecil kawasan itu tiga tahun lalu, meskipun kondisinya tidak sekering seperti tahun 2015. Namun, industri itu menunjukkan tanda-tanda equipoise side effects kemajuan, kata Adriansyah.

“Uni Eropa perlu mengakui kemajuan yang telah dibuat, namun Indonesia perlu mengakui masih ada kesenjangan besar dalam industri yang perlu ditangani dengan cepat.”

sumber: matamatapolitik.com