Kopi atau Jengkol, Tepatkah Alternatif Jokowi untuk Sawit yang Anjlok?

Presiden Joko Widodo mendesak petani berhenti bergantung pada taman sawit karena harga minyak kelapa sawit yang jatuh di pasar internasional.

Petani diminta beralih menanam kopi, manggis, jengkol, bahkan petai, yang dianggap lebih menguntungkan.

Tapi benarkah solusi Jokowi itu? Bagaimana data produksi dan ekspor belakangan ini?

“Sawit kita sudah gede banget, kurang lebih 13 juta hektar. Produksi pertahun 42 juta ton. Kalau semakin besar, harganya nanti turun,” ujar Jokowi, Minggu (17/12) saat menyerahkan sertifikat hutan sosial seluas 91 ribu hektar bagi petani di Jambi.

“Jadi jangan semuanya menanam sawit. (Komoditas) yang lain kan banyak,” katanya.

Menurut Jokowi, setiap petani seharusnya melakukan diferensiasi komoditas. Selain mencegah kelebihan produksi, strategi ini dianggapnya bisa mencegah kejatuhan harga komoditas.

“Kalian jangan menganggap remeh jengkol dan petai, yang penting harganya…lahan kita malah ditanami sawit semua. Begitu harga sawit jatuh, sakit semua,” kata Jokowi.

‘Tidak Bisa Pukul Rata’

Peneliti di Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, menyebut usul Jokowi hanya bisa diterapkan oleh petani yang memiliki lahan baru.

Para petani yang sudah menanam sawit, kata dia, justru akan merugi jika beralih ke komoditas lain.

“Alternatif komoditas itu penting bagi mereka yang belum menanam sawit,” kata Rusli saat dihubungi.

“Bagi yang sudah terlanjur, mereka butuh biaya. Jadi mereka justru rugi karena harus membersihkan kebun sawit dan menanam ulang,” ujarnya melanjutkan.

Akhir November lalu, merujuk data Serikat Petani Kelapa Sawit, komoditas sawit yang disebut dengan istilah tandan buah segar (TDS) mencapai Rp600 per kilogram.

Pada periode yang sama, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian bahkan menyebut TDS hanya dihargai Rp500 per kilogram.

Sebagai perbandingan, harga acuan TDS yang ditetapkan pemerintah provinsi ada di kisaran Rp1.200 hingga Rp1.400 per kilogram.

Menurut Rusli, petani sawit dapat tertolong jika pemerintah membeli hasil produksi mereka dengan nilai wajar. Ia mengatakan minyak sawit itu dapat dialihkan menjadi bahan bakar biodiesel.

Dengan strategi ini, menurut Rusli, pemerintah secara tidak langsung menekan pengeluaran untuk impor minyak mentah.

“Jadi sawit digunakan untuk campuran solar. Sehingga kebutuhan minyak yang menjadi salah satu penyebab defisit anggaran nasional semakin kecil,” tutur Rusli.

Kopi versus Jengkol

Soal alternatif sawit, kopi dianggap lebih menguntungkan petani dibandingkan komoditas lain seperti nilam, kepayang, bahkan jengkol.

Rusli menyebut permintaan biji kopi terus meningkat, termasuk di dalam negeri, seiring bertambahnya kelas menengah dan meluasnya kebiasaan minum kopi.

“Sebagian besar konsumen jengkol ada di Jawa, tapi tanamannya di luar Jawa, sama saja bohong, ada biaya logistik yang harus ditanggung pembeli,” kata Rusli.

Menurut data Kementerian Pertanian, produksi kopi di Indonesia mencapai 639.000 ton pada 2016. Mayoritas produksi (95%) berasal dari perkebunan rakyat.

Kopi merupakan komoditas perkebunan unggulan Indonesia, setelah sawit, karet, kakao, dan kelapa. Indonesia tercatat sebagai produsen kopi keempat terbesar di dunia.

Harga kopi berbeda di setiap daerah, terutama dipengaruhi kualitasnya. Rentang harga jual biji kopi per kilogram pada 2017 adalah Rp65.000 hingga Rp100.000 untuk kualitas terbaik.

Terkait data kopi itu, Jokowi mendorong petani melihat celah keuntungan. Ia menekankan diferensiasi produk di antara petani.

“Kopi sedang bagus-bagusnya, tapi jangan nanti semua tanam kopi. Anjlok bareng-bareng lagi nanti,” kata Jokowi.

Sementara itu, harga jengkol belakangan melangit, hampir setara daging sapi segar yang ada di angka Rp100.000 per kilogram.

Penyebabnya adalah kelangkaan suplai, menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia.

Selama ini, berdasarkan data Kementerian Pertanian, jengkol telah menembus pasar ekspor Arab Saudi, Hong Kong, Belanda, hingga Amerika Serikat.

Sumber: bbc.com