Sawit Notif – Ketua DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Rimbun, kembali menyoroti minimnya komitmen sejumlah perusahaan perkebunan sawit dalam merealisasikan kewajiban penyediaan kebun plasma 20 persen dan pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ia menilai bahwa perusahaan yang masih menunda atau enggan memenuhi aturan tersebut sudah selayaknya diberikan sanksi tegas.
Dilansir dari radarsampit.jawapos.com, dorongan ini muncul seiring meningkatnya desakan masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun menunggu realisasi kebun plasma dari beberapa grup perusahaan sawit besar yang beroperasi di wilayah itu. Menurut Rimbun, gerakan masyarakat untuk menagih hak plasma patut mendapat dukungan karena masalah ini berkaitan langsung dengan kesejahteraan warga di sekitar wilayah konsesi perusahaan. Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak boleh membiarkan perusahaan terus mengulur waktu tanpa kepastian.
Rimbun menjelaskan bahwa dari 55 perusahaan besar yang beroperasi di Kotim, seluruhnya wajib menerapkan kebun plasma sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan luas areal sawit yang diperkirakan mencapai 500 ribu hektare, setidaknya 100 ribu hektare seharusnya sudah diserahkan sebagai kebun plasma masyarakat.
Namun hingga kini, realisasi itu dinilai masih jauh dari harapan. Ia menambahkan bahwa masyarakat sudah terlalu lama mengandalkan itikad baik perusahaan, sehingga langkah penagihan secara langsung dianggap merupakan bentuk perjuangan yang wajar. Pihak legislatif dan pemerintah daerah disebut telah memiliki pemahaman yang sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terkait keharusan setiap perusahaan memenuhi kewajiban tersebut.
Rimbun menegaskan bahwa Gubernur Kalteng juga telah menyampaikan sikap tegas, sehingga tahap selanjutnya tinggal memastikan implementasi di lapangan. Ia juga meluruskan bahwa kewajiban plasma tidak berkaitan dengan lahan yang sebelumnya disita Satgas Penanganan Konflik Hak; plasma merupakan porsi 20 persen dari izin usaha perkebunan yang sah.
Lebih lanjut, Rimbun memperingatkan manajemen Sinarmas Grup yang telah diberikan batas waktu oleh pemerintah daerah untuk menyelesaikan kewajiban plasma. Ia menyebut bahwa dengan waktu yang tersisa, tidak ada lagi alasan bagi perusahaan untuk menunda realisasi hak masyarakat.
Menurutnya, apabila masih terdapat perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan, maka langkah penegakan hukum harus segera diambil agar ada kepastian dan rasa keadilan bagi warga sekitar. Ia berharap dorongan masyarakat dan ketegasan pemerintah dapat mempercepat penyelesaian persoalan plasma yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara warga dan perusahaan di Kotim.
Untuk diketahui petani plasma dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Perbedaan Utama Petani Plasma dan Non-Plasma (Swadaya). Petani Plasma adalah petani rakyat yang mengelola perkebunan di bawah skema kemitraan formal dengan Perusahaan Perkebunan Besar (disebut Inti). Perkebunan Plasma dikembangkan dengan bantuan dan pengaturan dari perusahaan Inti berdasarkan kesepakatan. Dalam pola ini, petani Plasma secara konsisten menerima bimbingan teknis, binaan, serta fasilitas pendukung dari perusahaan Inti. Sebagai timbal balik dari kemitraan ini, hasil panen mereka, yaitu Tandan Buah Segar (TBS), umumnya wajib dijual dan diproses melalui pabrik milik perusahaan Inti.
Sebaliknya, Petani Non-Plasma atau yang lebih dikenal sebagai Petani Swadaya, adalah petani yang memiliki dan mengelola perkebunan kelapa sawit secara mandiri dan perorangan. Petani Swadaya tidak terikat secara formal dalam perjanjian kemitraan dengan perusahaan perkebunan besar mana pun. Oleh karena itu, mereka tidak menerima bimbingan, binaan, atau fasilitas terikat dari perusahaan besar, dan memiliki kebebasan penuh dalam mengelola kebun serta menentukan tempat menjual hasil panen mereka. (AD)(SD)(DK)
Tabel Ringkasan Perbedaan Petani Plasma dan Non-Plasma (Swadaya).
| Kriteria | Petani Plasma (Perkebunan Plasma) | Petani Non-Plasma (Swadaya) |
| Definisi Kepemilikan | Perkebunan milik petani rakyat yang dikembangkan melalui kemitraan. | Perkebunan yang dimiliki dan dikelola secara mandiri oleh perorangan. |
| Status Kemitraan | Terikat secara formal dalam kesepakatan kemitraan dengan perusahaan perkebunan besar (Inti). | Tidak terikat secara formal dalam kemitraan dengan perusahaan Inti. |
| Dukungan/Binaan | Mendapat bimbingan, binaan, dan fasilitas dari perusahaan Inti. | Tidak mendapat bimbingan, binaan, dan fasilitas terikat dari perusahaan besar. |
| Pengaturan Pengembangan | Pengembangan dibantu dan diatur oleh perusahaan Inti. | Pengembangan kebun dilakukan secara mandiri dan bebas. |
| Penjualan Hasil Panen | Hasil panen (TBS) biasanya dijual ke pabrik Inti. | Bebas menentukan tempat menjual hasil panennya. |

