Analisis Hukum Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Perizinan-Perkebunan

Sawit Notif – Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Namun, pengelolaan dan perizinannya sering menimbulkan persoalan hukum, lingkungan, dan sosial. Banyak kasus menunjukkan pelanggaran batas konsesi, pembukaan lahan tanpa izin lengkap, hingga konflik agraria dengan masyarakat adat. Di tengah kompleksitas regulasi, petani dan perusahaan juga menghadapi tantangan teknis seperti patah sawit, gangguan perawatan sawit, dan penyakit mematikan seperti ganoderma sawit, khususnya Ganoderma boninense, yang menurunkan produktivitas kebun secara signifikan.

1. Kerangka Hukum Perizinan Perkebunan Sawit

Hukum perizinan sawit diatur oleh berbagai regulasi, antara lain:
• UU No. 39/2014 tentang Perkebunan
• UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020) beserta turunannya
• PP No. 26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian
• Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 5/2019
• Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang KLHS & AMDAL
• Aturan terkait HGU, izin pelepasan kawasan hutan, dan izin lingkungan
Perizinan tidak hanya menyangkut kelayakan usaha, tetapi juga menyentuh aspek lingkungan, kesehatan tanah, dan tata ruang wilayah.

2. Tahapan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit

Secara umum, perusahaan wajib memenuhi tahapan berikut:
1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)
Dokumen ini memastikan bahwa rencana kebun sesuai dengan tata ruang daerah.
2) Persetujuan Lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL)
AMDAL wajib untuk kebun di atas 25 hektare. Di tahap ini, perusahaan harus menerangkan dampak ekologis, termasuk risiko penyakit tanaman seperti Ganoderma boninense yang rentan muncul pada tanah yang rusak atau bekas hutan primer.
3) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS RBA)
Mencakup izin operasional untuk budidaya dan pengolahan.
4) Hak Guna Usaha (HGU)
Landasan hukum penguasaan lahan oleh perusahaan.
5) Kewajiban Plasma 20%
Mandatori bagi perusahaan besar sebagai bentuk pemerataan manfaat ekonomi kepada masyarakat.

3. Permasalahan Umum dalam Hukum Perizinan Sawit

Banyak konflik dan pelanggaran muncul karena tidak terpenuhinya aspek hukum. Beberapa persoalan utama:

A. Tumpang-tindih Lahan dan Konflik Agraria
Sering terjadi perusahaan memperoleh izin kawasan yang ternyata merupakan wilayah adat, ladang masyarakat, atau tanah ulayat. Sengketa ini menyebabkan penundaan pembangunan kebun dan memicu konflik berkepanjangan.

B. Lemahnya Penegakan Pengawasan Lingkungan
Meski AMDAL mensyaratkan perlindungan hutan, gambut, dan satwa, implementasinya kerap kurang diawasi. Kondisi tanah yang terdegradasi tanpa rehabilitasi memicu penyakit pada tanaman, termasuk:
• Ganoderma sawit (akar busuk)
• Serangan jamur Ganoderma boninense yang menimbulkan bahaya ganoderma bagi produksi
• Pohon muda yang mengalami patah sawit karena batang rapuh dan sistem akar rusak

AMDAL idealnya mencakup rekomendasi perawatan sawit berkelanjutan, tetapi banyak dokumen tidak menjelaskan aspek teknis tersebut secara rinci.

C. Celah pada Perizinan Lingkungan
Beberapa perusahaan mengajukan AMDAL namun tidak mengungkap dampak serius terhadap tanah yang telah terkontaminasi penyakit. Padahal, keberadaan patogen seperti Ganoderma boninense dapat menyebar dan merusak kebun masyarakat sekitar, menyebabkan kerugian besar.
Penanganan seharusnya memuat strategi mitigasi seperti:
• penggunaan fungisida ganoderma,
• rotasi tanaman,
• sanitasi lahan,
• dan monitoring akar secara berkala.
Namun, hal ini jarang dimasukkan dalam dokumen perizinan sehingga berisiko menyulitkan proses pemulihan lahan di masa depan.

D. Perkebunan Tanpa HGU dan Tanpa Legalitas Lengkap
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK pernah melaporkan banyak perkebunan yang beroperasi tanpa HGU tetapi tetap menanam sawit hingga puluhan ribu hektare. Kondisi ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membuat kawasan tersebut sulit diawasi secara lingkungan.

E. Ketidakpatuhan terhadap Kewajiban Plasma
Plasma 20% adalah syarat legal sekaligus sosial yang penting. Ketidakpatuhan perusahaan dapat memicu gugatan hukum dan konflik horizontal.

4. Kaitan Teknis: Perawatan Sawit, Patah Sawit, dan Ganoderma

Isu budidaya sawit tidak terpisahkan dari permasalahan hukum. Banyak kebun yang izinnya bermasalah cenderung dioperasikan dengan perawatan yang minim, sehingga memicu berbagai persoalan teknis:

1. Patah Sawit
Pohon muda sering mengalami patah batang karena:
• struktur tanah tidak kuat,
• tingginya serangan akar busuk,
• salah manajemen pemupukan,
• dan buruknya sistem irigasi.
Perizinan AMDAL seharusnya mencakup rencana rehabilitasi tanah untuk mencegah masalah ini.

2. Ganoderma Sawit & Ganoderma Boninense
Ganoderma adalah penyakit paling mematikan pada sawit. Ganoderma boninense dapat menyebabkan:

• pohon tumbang,
• penurunan produksi TBS tajam,
• kerusakan sistem akar,
• dan konflik lahan baru karena petani terdorong membuka kebun baru.

Bahaya ganoderma semakin parah di kebun dengan perizinan tidak jelas, karena biasanya tidak memiliki pedoman perawatan tanah jangka panjang.

3. Fungisida Ganoderma
Penggunaan fungisida merupakan salah satu strategi, namun harus:
• mengikuti standar keamanan,
• disertai kombinasi kultur teknis,
• dan pengawasan legal untuk mencegah pencemaran air tanah.
Aspek ini seharusnya masuk dalam dokumen pengelolaan lingkungan sebagai kewajiban hukum perusahaan.

5. Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Perkebunan

Perusahaan berkewajiban mematuhi aturan, di antaranya:
1. Kewajiban Lingkungan
• tidak membuka hutan lindung dan gambut,
• mencegah polusi air dan udara,
• meminimalkan penyakit tanaman, termasuk ganoderma.
2. Kewajiban Sosial
• perlindungan masyarakat adat,
• kewajiban plasma,
• pekerjaan layak bagi buruh kebun.
3. Kewajiban Administratif
• melengkapi HGU, KKPR, persetujuan lingkungan, dan OSS RBA.
• taat pada tata ruang wilayah.

6. Reformasi Hukum Perkebunan Sawit

Beberapa rekomendasi:
• Memperketat verifikasi HGU dan legalitas lahan.
• Memasukkan aspek perawatan sawit dan risiko Ganoderma boninense dalam AMDAL secara wajib.
• Audit berkala terhadap penggunaan fungisida ganoderma agar tidak merusak ekosistem.
• Digitalisasi peta lahan dan sertifikat untuk menghindari tumpang-tindih.
• Melindungi hak masyarakat adat secara hukum.

Kesimpulan

Hukum perizinan perkebunan sawit memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan kepastian usaha. Namun, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan serius: konflik lahan, lemahnya pengawasan lingkungan, dan rendahnya kepatuhan perusahaan.

Dari sisi teknis, persoalan seperti patah sawit, kualitas perawatan sawit, serta serangan ganoderma sawit khususnya Ganoderma boninense, merupakan isu penting yang harus diintegrasikan dalam dokumen perizinan dan pengelolaan lingkungan. Pengawasan terhadap penggunaan fungisida ganoderma juga harus diperketat agar tidak menimbulkan dampak samping ekologis. Dengan perbaikan regulasi dan implementasi yang konsisten, industri kelapa sawit dapat berjalan lebih berkelanjutan, adil, dan produktif tanpa mengorbankan lingkungan serta masyarakat. (AD)(DK)(SD)