Sawit Notif – Kerap diisukan menjadi pemicu utama kampanye hitam sawit Indonesia, Uni Eropa sampai saat ini masih membutuhkan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Hal ini disampaikan oleh Dubes Uni Eropa (UE) untuk Indonesia, Vincent Piket dalam pertemuan antara Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, Rabu (29/09) pekan lalu.
Pada kesempatan itu, Vincent mengatakan hampir 20% impor minyak kelapa sawit UE masih bergantung pada Indonesia. Untuk itu, UE juga masih terus berkomitmen atas pemberlakuan tarif pembiayaan rendah ekspor impor CPO Indonesia.
“Uni Eropa sedang melakukan riset kembali tentang minyak kelapa sawit, kedelai, biji canola, gula dan lain sebagainya. Kita sedang menunggu hasilnya. Kalau diperlukan agar kebijakannya dirubah, kami akan mengubahnya,” terang Vincent.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan RI, nilai ekspor sawit dari Indonesia ke UE sepanjang Januari hingga Mei 2021 tumbuh 20,85% menjadi US$1,69 miliar, dibandingkan periode sama pada tahun 2020 sebesar US$1,4 miliar.
Sementara itu, ekspor sawit dan produk turunannya tetap tinggi ke UE mencapai US$3,1 miliar pada 2020. Nilai ini lebih tinggi dari tahun 2019 sebesar US$3 miliar, mengutip SawitIndonesia.com.
Sebelumnya, berbagai pihak yang menilai UE sebagai pemicu kampanye hitam sawit Indonesia bukan tanpa alasan. Pada bulan Maret 2019 lalu, Komisi UE telah meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) atas Renewable Energy Directive/RED II. Dalam dokumen tersebut, Komisi UE menyimpulkan kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menjadi penyebab deforestasi besar-besaran secara global dan tidak mengkategorikan CPO sebagai bahan baku produksi biofuel.
Lebih lanjut, kebijakan tersebut mewajibkan negara-negara Uni Eropa untuk menggunakan RED II paling sedikit 32 persen dari total konsumsi energi negaranya dan bahkan berencana menghapus secara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga 0% pada tahun 2030.
Sumber: SawitIndonesia.com.