Sawit Notif – Hadirnya UU Cipta Kerja dapat mengoptimalkan upaya perbaikan tata kelola sawit. Hal ini berkaitan dengan Inpres 8/2018 tentang moratorium sawit yang telah berakhir dengan menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, baik dalam hal implementasi maupun kekuatan hukum yang mengikatnya.
Mengutip Katadata.co.id, menurut kajian Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOSI), sejumlah keterbatasan menjadi hal yang harus diperhatikan, diantaranya mengenai ketidakpastian hukum terkait pengaturan tumpang tindih kebijakan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dan tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota (RTRWP/K).
Permasalahan yang tumpang tindih tersebut disinyalir menjadi sumber utama terbitnya izin Hak Guna (HGU) dan perizinan perkebunan kelapa sawit bermasalah. Regulasi evaluasi terkait isu ini juga belum sepenuhnya jelas.
Sementara, permasalahan lain yang dihadapi juga terkait ketidakjelasan hukum keterlanjuran, pelanggaran, dan ganti rugi terkait perkebunan kelapa sawit yang menyasar kawasan hutan.
Perkebunan sawit yang tidak produktif selama ini juga mengalami pembiaran 3 hingga 6 tahun. Sebanyak 20 persen perusahaan berkewajiban membangu kebun rakyat ternyata telah mangkir dari tanggung jawab.
Apabila moratorium sawit resmi diperpanjang, maka berbagai permasalahan tersebut membutuhkan penguatan hukum. Hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya menjadi harapan dan peluang dalam rangka perbaikan tata kelola sawit, sekaligus juga dapat mendukung perpanjangan program moratorium sawit. Peraturan turunan UU Cipta Kerja yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut di antaranya, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 20, 23, 24, 26, dan 43 tahun 2021 yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa Peraturan Kementerian.
Sumber: Katadata.co.id.