Dorong Program Biodiesel dengan Perkuat Kemitraan Petani Sawit

Dorong Program Biodiesel dengan Perkuat Kemitraan Petani Sawit

Sawit Notif – Dalam rangka perwujudan strategi pemerintah untuk menekan impor solar dan penghematan devisa negara, saat ini Pemerintah tengah mengkaji kenaikan program mandatori biodiesel dari B30 ke B40. Topik ini menjadi tema hangat dalam workshop bertajuk “Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel” pada (28/9) lalu.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga tahun 2020, program biodiesel berhasil menghemat devisa negara sebesar Rp.63,39 triliun. Tak sampai situ, program biodiesel juga telah menjadi pemain baru di pasar CPO Indonesia yang mencapai 8 – 9 juta ton CPO. 

Namun, dibalik keberhasilan tersebut, diketahui bahwa keterlibatan petani sawit melalui kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan yang terkait dalam industri biodiesel masih sangat minim. Kritik ini disampaikan oleh Sekjen SPKS, Mansuetus Darto yang dikutip dari Kontan.co.id.

Sejatinya pemanfaatan biodiesel tidak hanya sebagai langkah antisipasi energi fosil yang kian menipis, melainkan juga peningkatan kesejahteraan petani sawit, terutama petani sawit swadaya, sesuai dengan target presiden Joko Widodo.

Mansuetus menilai, implementasi B30 masih perlu dievaluasi dengan menilik lebih lanjut tentang manfaat yang akan berdampak pada petani sawit, termasuk petani sawit swadaya. Bukan tanpa dasar, dikatakan Mansuetus bahwa selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel karena petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%. Hal ini terjadi karena tidak adanya perjanjian kemitraan, terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. Padahal, program biodiesel sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS hingga tahun 2020 sekitar 57,72 triliun. 

Di kesempatan yang sama,Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan, Alin Halimatussadiah menyatakan bahwa kebijakan mandatori biodiesel termasuk kebijakan progresif, terutama pada target yang diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat. Sehingga bila skenario semakin progresif, maka semakin cepat dan besarlah defisit CPO yang akan terjadi, mengingat adanya keterbatasan pada sisi supply. 

“Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan skenario B 50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada”, tandas Alin.

Oleh karena itu, sejumlah pihak juga turut merekomendasikan agar program peremajaan sawit rakyat (PSR) harus terus dipacu. Mengingat, PSR terdiri dari banyak petani swadaya. Dengan begitu, pemerintah bisa tetap merangkul petani plasma dan petani swadaya, sebagai perwujudan kemitraan yang kuat sehingga kesejahteraan pun dapat meningkat.

Sumber: Kontan.co.id.