Sawit Notif – Kehadiran perkebunan sawit di negara produsen minyak sawit termasuk di Indonesia diharapkan dapat menjadi bagian penting dari upaya pengurangan jumlah penduduk miskin di dunia.
Dilansir dari www.bpdp.or.id, Negara Indonesia tercatat masuk ke dalam lima besar negara produsen minyak sawit di dunia bersama dengan Malaysia, Thailand, Nigeria, dan Kolombia. Menurut data Bank Dunia (2020) dalam laporan PASPI (2021) berjudul Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pengurangan Kemiskinan Dunia, masih terdapat sekitar 17 persen penduduk miskin dunia yang berada pada lima besar negara produsen minyak sawit dunia.
Perlu diketahui, PASPI adalah singkatan dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, yaitu sebuah lembaga penelitian dan kajian strategis di bidang agribisnis kelapa sawit. PASPI berfokus pada analisis kebijakan, riset ekonomi, dan strategi pengembangan industri kelapa sawit, baik di tingkat nasional maupun global.
Oleh karena masih terdapat sekitar 17 persen penduduk miskin dunia, kehadiran perkebunan sawit di negara produsen minyak sawit tersebut diharapkan dapat menjadi bagian penting dari upaya pengurangan kemiskinan dunia.
PASPI dalam laporan tersebut mengungkapkan, secara teoritis, terdapat tiga jalur industri sawit yang dapat berkontribusi pada pengurangan kemiskinan. Pertama, melalui perkebunan kelapa sawit di negara-negara produsen minyak sawit dunia. Kedua, melalui kegiatan hilir di negara-negara impor minyak sawit. Ketiga, melalui penyediaan minyak sawit dengan harga murah sehingga meningkatkan daya beli penduduk miskin.
Jalur Perkebunan Sawit di Negara Produsen
Berdasarkan studi PASPI (2014) berjudul Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan: Peranan Industri Minyak Sawit dalam Pertumbuhan Ekonomi, Pembangunan Pedesaan, Pengurangan Kemiskinan, dan Pelestarian Lingkungan, dengan mengambil studi kasus perkebunan sawit di Indonesia diketahui bahwa perkebunan kelapa sawit mampu berperan penting dalam pengurangan kemiskinan. Studi PASPI tersebut juga menemukan, setiap peningkatan produksi minyak sawit sebesar 10 persen maka akan berdampak pada terjadinya penurunan kemiskinan sebesar 7,7 persen.
Selain itu, studi PASPI dalam laporan tersebut juga mengungkap bahwa perkebunan kelapa sawit juga menciptakan kesempatan kerja dan berusaha sehingga meningkatkan pendapatan dan daya beli penduduk miskin pedesaan.
Pada tahun 2000, terdapat 2,5 juta kepala keluarga di Indonesia yang memiliki kebun kelapa sawit dengan luas sekitar 2-25 hektare. Pendapatan petani sawit sekitar 5-10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pendapatan petani non-sawit (PASPI, 2014).
Hal yang sama juga terkonfirmasi oleh studi Edward (2019) berjudul Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesia Palm Oil yang menunjukkan bahwa laju penurunan kemiskinan pada kabupaten-kabupaten yang memiliki kebun sawit terbesar (sentra sawit) lebih cepat dibandingkan kabupaten-kabupaten yang tidak memiliki kebun sawit.
Peran industri minyak sawit dalam pengurangan kemiskinan juga dikemukakan dalam studi Susila (2004), Susila dan Munadi (2008), World Growth (2011), Gingold (2011), dan Santika et.al. (2011) yang dirangkum dalam laporan PASPI (2021). Kesimpulan dari studi-studi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan industri minyak sawit dapat menurunkan kemiskinan baik di kawasan pedesaan maupun di kawasan perkotaan.
Selain itu, PASPI (2021) dalam laporan yang sama juga menemukan, peranan perkebunan sawit dalam pengurangan kemiskinan juga signifikan terjadi di negara-negara produsen minyak sawit lainnya (Bank Dunia, 2011) seperti di Malaysia (Ayodele, 2010), Papua New Guinea (ITS Global, 2012), Nigeria (Adobe et.al., 2015), dan Kolombia (Porter, 2020).
Jalur Hilirisasi di Negara Importir
Afrika, India, Pakistan, Bangladesh, dan China merupakan negara-negara importir minyak sawit dunia. Sekitar 56 persen impor minyak sawit dunia dilakukan oleh negara-negara tersebut (USDA, 2021 dalam laporan PASPI, 2021). PASPI dalam laporannya tersebut juga mengatakan, pada negara-negara importir, minyak sawit diolah lebih lanjut menjadi produk pangan maupun produk non-pangan.
Proses pengolahan (hilirisasi) minyak sawit menciptakan ‘kue ekonomi’ berupa kesempatan kerja dan penciptaan pendapatan yang diharapkan dapat menolong penduduk miskin.
Senada dengan hal tersebut, studi Europe Economics (2016) berjudul The Downstream Economic Impact of Palm Oil Exports yang diolah PASPI menunjukkan bahwa kegiatan hilirisasi minyak sawit di negara-negara importir mampu menciptakan kesempatan kerja (direct, indirect, induced effect) sebesar 2,3 juta orang.
Jika dijabarkan, studi tersebut mencatatkan sekitar 54 persen jumlah kesempatan kerja global tercipta dari hilirisasi kelapa sawit yang terjadi di negara-negara di mana penduduk miskin dunia berada, yang terdistribusi di India (20 persen), Afrika (7 persen), China (12 persen), serta Pakistan dan Bangladesh (5 persen).
Bahkan PASPI (2021) dalam laporan berjudul Penciptaan Pendapatan (Income Generating) pada Hilirisasi Minyak Sawit di Negara Importir menemukan bahwa hilirisasi minyak sawit di negara importir minyak sawit juga menciptakan pendapatan (direct, indirect, induced effect) sebesar US$32,8 miliar.
Dikemukakan PASPI (2021) dalam laporan tersebut bahwa pendapatan yang tercipta sebagian besar terjadi di negara-negara importir minyak sawit di mana penduduk miskin dunia berada. Negara-negara yang dimaksud adalah Afrika (13,5 persen), India (16,7 persen), China (17 persen), serta Pakistan dan Bangladesh (10,1 persen).
Jalur Konsumsi Minyak Sawit
Di antara empat besar minyak nabati utama dunia, minyak sawit merupakan minyak nabati yang harganya paling kompetitif sehingga mudah dijangkau oleh penduduk miskin. Sejauh ini harga minyak sawit selalu jauh lebih murah daripada harga minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari.
Disparitas harga minyak sawit dengan ketiga minyak nabati lainnya di pasar internasional berkisar antara US$100-200 per ton (PASPI dalam laporan berjudul Minyak Sawit adalah Minyak Nabati yang Membantu Penduduk Miskin Dunia, yang diterbitkan tahun 2021). Kondisi ini menguntungkan bagi masyarakat miskin dunia.
PASPI (2021) dalam laporan berjudul Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pengurangan Kemiskinan Dunia mengungkapkan, dengan pendapatan nominal yang tetap, volume minyak sawit yang dapat dikonsumsi masyarakat miskin menjadi lebih banyak. Dengan kata lain, harga minyak sawit yang lebih murah berdampak pada alokasi anggaran penduduk miskin untuk konsumsi minyak sawit menjadi relatif sedikit sehingga tersedia anggaran yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan lain.
Senada dengan hal tersebut, studi Kojima (2016) berjudul A Global Demand Analysis of Vegetable Oils for Food Use and Industrial Use menunjukkan, konsumsi minyak sawit dunia berhubungan positif dengan harga minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari. Jika harga minyak kedelai (atau minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari) mengalami kenaikan maka konsumsi masyarakat akan beralih ke minyak sawit.(AD)(DK)(NR)