Sawit Notif – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan produktivitas perkebunan sawit rakyat akan turun setidaknya 50% pada 2023. Hal ini disebabkan tiga alasan, yakni harga jual tandan buah segar (TBS) sawit, naiknya harga pupuk hingga 300%, dan menghapus perkebunan kelapa sawit dari daftar subsidi pupuk mulai Juli 2022, dikutip dari Katadata.co.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan, “Pada 2020-2021, produksi akan turun karena tidak ada pupuk. Mulai Oktober 2021 hingga sekarang, pupuk ada dimana-mana tapi harganya tidak terjangkau,”katanya.
Harga yang tinggi membuat banyak petani tidak melakukan pemupukan sesuai dosis yang dianjurkan. Menurut Gulat, dampak minimnya pemupukan pada perkebunan sawit rakyat akan terasa 12 bulan kemudian atau pada 2023.
Gulat juga menjelaskan bahwa harga pupuk berada pada level tinggi pada Oktober 2021, sedangkan periode aplikasi pupuk pertama tahun ini adalah Januari 2022. Akibatnya, jumlah lahan yang mendapatkan pemupukan dengan dosis yang sesuai pada masa pemupukan pertama 2022 hanya 15% atau 1,03 juta hektar, sedangkan sebanyak 9,8% atau 674.200 hektar yang dipupuk dengan dosis minim.
Dari 15% luas lahan yang dipupuk dengan dosis yang tepat, sebanyak 619.164 hektar atau 9% dari total lahan kebun sawit nasional dipupuk dengan pupuk subsidi. Sedangkan, lahan seluas 412.776 hektar atau 6% dari total lahan kebun sawit nasional dipupuk dengan pupuk non subsidi.
Kemudian, kebijakan larangan ekspor minyak sawit yang berlaku mulai 28 April hingga 22 Mei 2022 akan berdampak tidak hanya pada kinerja ekspornya tetapi juga kegiatan produksinya. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mencatat total produksi minyak sawit dalam negeri pada Mei 2022 sebesar 3,4 juta ton. Jumlah itu turun 19,7% dari 4,2 juta ton pada April 2022.
Sumber: Katadata.co.