SPOS Indonesia: Penyelesaian Legalitas Perkebunan Sawit Perlu Dipercepat

SPOS Indonesia: Penyelesaian Legalitas Perkebunan Sawit Perlu Dipercepat

Sawit Notif – Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres 8/2018) telah berakhir masa berlakunya. Kini, pasca berakhirnya Inpres tersebut, masih banyak PR yang perlu untuk segera dituntaskan. Rendahnya capaian Inpres 8/2018 selama tiga tahun yang lalu bukan tanpa sebab. Berdasarkan kajian hukum Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia (2021), tidak adanya regulasi pendukung dan adanya konflik antar kebijakan dan regulasi diduga kuat menjadi penyebab utama sulitnya mengimplementasikan Inpres 8/2018.

Pasca berakhirnya Inpres 8/2018, beberapa pihak menganggap bahwa Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Inpres 6/2019) dapat menggantikan peran dari Inpres 8/2018. Meskipun antara Inpres 6 dan Inpres 8 saling mendukung terhadap upaya pembangunan perkebunan kelapa sawit nasional yang berkelanjutan, namun apabila dikaji lebih dalam ternyata antara keduanya terdapat beberapa pengaturan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat beberapa instruksi yang ada dalam Inpres 8/2018, namun tidak ada dalam Inpres 6/2019.

Lalu, perlukah menerbitkan Inpres baru? Atau sudah cukup dengan Inpres 6/2019?

Evaluasi Perizinan

Inpres 8/2018 dan Inpres 6/2019 memiliki perbedaan arahan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut dapat kita temui pada instruksi terkait dengan penundaan penerbitan perizinan yang terdapat dalam Inpres 8/2018, namun tidak terdapat dalam Inpres 6/2019. Selain itu, dalam Inpres 6/2019 juga tidak ada instruksi untuk melakukan evaluasi perizinan padahal dalam Inpres 8/2018. Instruksi mengenai evaluasi perizinan menjadi salah satu elemen penting dalam memperbaiki dan menyelesaikan sengkarut perizinan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit.

Persamaan antara Inpres 8/2018 dan Inpres 6/2019 hanya terdapat dalam instruksi terkait dengan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Terkait dengan hal ini, arahan presiden dalam Inpres 6/2019 lebih detail apabila dibandingkan dengan Inpres 8/2018. Dengan demikian, relasi antara Inpres 8/2018 dan Inpres 6/2019 saling mendukung dan menguatkan, namun terdapat perbedaan yang signifikan; Inpres 8/2018 lebih menitikberatkan pada perbaikan legalitas perkebunan, sedangkan Inpres 6/2019 lebih menitikberatkan pada peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Oleh karena itu, keberadaan Inpres 6/2019, tidak dapat menggantikan Inpres 8/2018.

Kini, Inpres 8/2018 sudah berakhir dan sampai saat ini tidak ada kejelasan untuk memperpanjang ataukah tidak. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya dalam kaitannya dengan penyelesaian legalitas perkebunan kelapa sawit, sebenarnya telah memberikan dukungan kuat dalam melakukan evaluasi dan penyelesaian sengkarut perizinan kelapa sawit, yakni dengan adanya penyisipan pasal baru dalam UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yakni Pasal 110A dan Pasal 110B.

Dalam perubahan pasal tersebut, terdapat strategi penyelesaian secara non litigasi, yakni dilakukan dengan mekanisme pengenaan sanksi administratif dan penataan kawasan hutan.

Regulasi UU Cipta Kerja tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (PP 43/2021), Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021), dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 24/2021).

Saat ini, sudah terbit aturan teknisnya, yakni terdapat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan (Permen LHK 7/2021) dan peraturan terkait lainnya.

Terbitnya regulasi dan berbagai kebijakan baru tersebut merupakan langkah positif dari pemerintah yang perlu diapresiasi. Terlepas adanya pro dan kontra dari lahirnya UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, suka atau tidak berbagai regulasi dan kebijakan tersebut kini telah berlaku sebagai jalan tengah penyelesaian legalitas perkebunan kelapa sawit.

Lalu, dalam rangka penyelesaian legalitas perkebunan kelapa sawit apakah sudah cukup dengan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya? Atau perlu penerbitan Inpres baru?

Kebutuhan Inpres Baru

Instruksi Presiden (Inpres) merupakan policy rules atau beleidsregels yang bertujuan untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan (Tobing, 2012). Sebagai policy rules kedudukan Inpres cukup strategis untuk memastikan suatu agenda dapat berjalan sesuai yang diharapkan.

Terkait dengan hal tersebut, perlu diperhatikan bahwa UU Cipta Kerja dan aturan turunannya adalah rules atau dasar hukum penyelesaian. Dengan demikian, demi suksesi perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit, posisi Inpres menjadi strategis untuk memastikan penyelesaian permasalahan sawit sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya dapat dijalankan sesuai dengan yang diharapkan.

Meskipun sudah ada UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, potensi buntunya penyelesaian maupun tidak dilaksanakannya regulasi dengan buy clenbuterol tablets baik tetap ada. Oleh sebab itu, penerbitan Inpres baru menjadi kebutuhan mendesak. Presiden dipandang perlu untuk memberikan instruksi atau arahan kepada Kementerian/Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota terkait strategi pelaksanaan dan strategi teknis percepatan pelaksanaan penyelesaian legalitas perkebunan kelapa sawit dalam konteks baru UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.

Terkait dengan hal tersebut, Presiden perlu memberikan instruksi berkaitan dengan tiga hal sebagai berikut. Pertama, penundaan perizinan perkebunan baru dalam rangka perbaikan dan penyelarasan kebijakan Kawasan Hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K).

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP 43/2021 diatur: Pada saat revisi RTRWP dan revisi RTRWK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), segala macam proses penerbitan lzin dan/atau Konsesi baru dihentikan sementara pada wilayah yang mengalami Ketidaksesuaian sampai dengan revisi RTRWP dan revisi RTRWK ditetapkan.

Namun terkait dengan pelaksanaan ketentuan tersebut dibutuhkan arahan dari Presiden khususnya instruksi kepada para penerbit izin untuk melakukan penundaan sementara dan melakukan percepatan penyelarasan kebijakan daerah dan kebijakan nasional.

Penundaan penerbitan perizinan, rekomendasi perizinan, dan lain sebagainya perlu dilakukan sampai tatanan kebijakan yang ada sudah selaras dan dapat dijadikan dasar untuk menerbitkan izin. Hal ini penting untuk dilakukan, karena apabila tatanan kebijakan yang ada masih bermasalah dan belum ada keselarasan dengan kebijakan yang lain, hal ini akan berdampak pada lahirnya perizinan-perizinan baru yang bermasalah.

Kedua, evaluasi perizinan, Hak Guna Usaha (HGU), Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan Perkebunan Kelapa Sawit. Fakta bahwa terdapat 11,9 juta ha izin perkebunan kelapa sawit yang belum diusahakan harus menjadi konsen pemerintah untuk menyelesaikannya (Katadata.co.id, 2021). Untuk menyelesaikan hal ini, perlu untuk dilakukan evaluasi menyeluruh, sehingga menghasilkan pilihan-pilihan penyelesaian yang tepat.

Dalam konteks ini, Presiden perlu memberikan arahan kepada Kementerian/Lembaga Gubernur, Bupati/Wali Kota untuk segera melakukan evaluasi terhadap perizinan baik Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Lokasi (IL), HGU, dan Pelepasan Kawasan Hutan sesuai dengan kewenangannya.

Ketiga, percepatan penyelesaian legalitas perkebunan kelapa sawit. UU Cipta Kerja dan aturan turunannya telah memberikan dasar hukum dan dasar kewenangan bagi Kementerian/Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota untuk menyelesaikan legalitas perkebunan. UU Cipta Kerja dan aturan turunannya mengklasifikasikan penyelesaian ke dalam keterlanjuran dan pelanggaran dengan menggunakan pendekatan sanksi administratif.

Agar proses penyelesaian dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dibutuhkan arahan Presiden khususnya berkaitan dengan strategi koordinasi antar Kementerian, Lembaga, Gubernur, Bupati dan Wali Kota sehingga penyelesaiannya tidak dilakukan secara sektoral. Selain itu, dibutuhkan juga arahan mengenai strategi penyelesaian secara nasional dengan melaporkan kepada presiden terkait hasil penyelesaian minimal setiap 6 bulan sekali.

Tiga hal di atas merupakan substansi penting yang perlu dimasukkan dalam Instruksi Presiden terkait Percepatan Penyelesaian Legalitas Perkebunan Kelapa Sawit. Terkait dengan peningkatan produktivitas sudah cukup dengan Inpres 6/2019 sehingga tidak perlu lagi dicantumkan dalam Inpres baru ini.

Arifin Ma’ruf Asisten Teknis Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia – Yayasan KEHATI

Sumber: Detik.com