Sawit Indonesia Dimoratorium Uni Eropa, Tingkat Kemiskinan Bisa Meningkat

Sawit Indonesia Dimoratorium Uni Eropa, Tingkat Kemiskinan Bisa Meningkat

Jakarta – Pemerintah terus matangkan persiapan diplomasi pasca-keputusan moratorium masuknya kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa. Langkah ini ditempuh karena banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah bukan mau meminta Uni Eropa untuk mencabut moratorium kelapa sawit Indonesia. Tapi ingin menjelaskan mengenai sawit supaya bisa mendapat perlakuan adil.

“Saya sudah bicara di parlemen Uni Eropa . Kami jelaskan kelapa sawit di sini ada 12 juta hektare, kemudian masalah human right ada 17,5 juta orang kerja di lahan ini,” jelasnya dalam acara Afternoon Tea, di Kemenko Maritim, Jakarta, Jumat (11/5/2018).

Luhut mengatakan, keluarnya keputusan moratorium karena Uni Eropa tidak memahami arti besar kelapa sawit di sini. Oleh karena itu, untuk lebih menguatkan penjelasan pemerintah sebelumnya, akan dilakukan pertemuan soal pengembangan berkelanjutan kelapa sawit di Roma, 15 Mei 2018.

“Mereka pertama tidak memahami, saya jelaskan sama anggota parlemen, kami 17 juta pulau dan sawit ada di sini, di sini. Nah kemiskinan bisa ada di ini kalau diambil (moratorium).

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui forum formal di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendorong Uni Eropa untuk berlaku adil terhadap minyak kelapa sawit.

Demikian seperti disampaikan dalam keterangan pers Perwakilan Tetap RI (PTRI) Jenewa yang diterima di Jakarta, Sabtu (24/3/2018).

Delegasi Indonesia untuk pertama kalinya menyampaikan keprihatinan terhadap perkembangan pembahasan kebijakan amandemen Pedoman Energi Terbarukan Uni Eropa yang dikaitkan dengan minyak kelapa sawit.

Keprihatinan Indonesia disampaikan oleh Delegasi Indonesia yang hadir pada Pertemuan Komite Hambatan Teknis Perdagangan WTO di Jenewa, Swiss.

Delegasi Indonesia menyampaikan bahwa pembahasan amandemen Pedoman Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) di Uni Eropa akan mengakibatkan perlakuan yang berbeda antara minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya.

Hal tersebut berpotensi menurunkan nilai tambah dari minyak kelapa sawit sebagai salah satu komponen biofuel yang dapat berkontribusi terhadap komitmen capaian energi terbarukan Uni Eropa sekaligus menurunkan konsumsi biofuel.

Terkait hal itu, Indonesia mendorong Uni Eropa agar tidak menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan menyesuaikan dengan komitmennya terhadap ketentuan-ketentuan WTO.

sumber: okezone.com