Respons Gapki Soal Stigma Negatif Industri Kelapa Sawit

Respons Gapki Soal Stigma Negatif Industri Kelapa Sawit

Belitung – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengeluhkan stigma negatif yang berkembang di masyarakat terhadap industri kelapa sawit di Indonesia. Stigma negatif tersebut disinyalir dibawa masuk ke Indonesia melalui kampanye hitam yang digaungkan pihak luar untuk kepentingan ekonomi negaranya.

Padahal, menurut Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, industri kelapa sawit menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi salah satu sektor penghasil devisa terbesar dari kegiatan ekspornya.

“Seharusnya sebagai industri yang menjadi andalan ekspor, kampanye negatif tidak boleh terjadi di Indonesia. Tetapi, kampanye negatif bisa masuk ke Indonesia,” ujarnya saat menghadiri Lokakarya Wartawan Ekonomi dan Pertanian Gapki di Tanjung Pandan, Belitung, Kamis (23/8).

Menurut catatannya, jumlah tenaga kerja di seluruh rantai pasok industri sawit bisa mencapai 17,5 juta orang. Kemudian, dari sisi devisa ekspor, setiap tahunnya sawit menyumbang lebih dari US$20 miliar.

Saat ini, perekonomian Indonesia menghadapi tekanan pelemahan rupiah terhadap dolar AS, sehingga devisa negara tergerus. Kondisi itu diperparah dengan defisit neraca perdagangan yang kian melebar.

Kenaikan ekspor sawit sebenarnya bisa membantu meringankan beban perekonomian negara. Namun, industri sawit harus menghadapi berbagai tudingan negatif mulai dari pelanggaran tata ruang pada kebakaran hutan, isu eksploitasi tenaga kerja, hingga pelanggaran HAM.

Akibatnya, pada paruh pertama tahun ini, ekspor CPO merosot enam persen secara tahunan menjadi 14,16 juta. Penurunan ekspor sawit berkontribusi terhadap neraca perdagangan yang mengalami defisit US$2,03 miliar pada bulan lalu.

Joko mengingatkan bahwa konteks industri sawit tak lepas dari persaingan perdagangan global. Dalam hal ini, komoditas sawit menjadi ancaman bagi negara penghasil minyak nabati dari komoditas lain.

Karenanya, ia mengendus ada kepentingan ekonomi negara lain dari maraknya tudingan negatif kepada industri sawit Indonesia.

Di tempat yang sama, Ketua Kompartemen Regulasi dan Pengupahan Gapki Immanuel Manurung menambahkan isu ketenagakerjaan industri sawit cukup sering dibahas.

Misalnya, eksploitasi buruh, upah di bawah standar, pekerja anak, diskriminasi terhadap perempuan, dan perlindungan kondisi yang minim.

“Isu ini terus dibahas dan sayangnya distigmakan menjadi kondisi umum bahwa industri kepala sawit adalah industri yang tidak menghargai pekerjanya,” terang Immanuel.

Padahal, industri sawit sama dengan industri lain yang terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-undang Ketenagakerjaan.

Selain itu, Immanuel mengingatkan bahwa industri sawit merupakan industri jangka panjang yang membutuhkan pengelolaan Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Jika perusahaan sawit saat ini tidak menjaga pekerjanya, umur bisnis akan terpangkas.

Kampanye hitam menjadi tantangan laten yang dihadapi oleh industri sawit. Untuk menghadapinya, GAPKI akan terus mendorong industri minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Salah satunya dengan meningkatkan standar industri kelapa sawit sesuai dengan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).

Ada tujuh hal yang diatur dalam ISPO, yaitu legalitas lahan perkebunan dan manajemen perkebunan, penerapan pedoman teknik budidaya dan pengolahan kepala sawit, perlindungan terhadap pemanfaatan hutan dan lahan gambut.

Kemudian, pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.

“Akhirnya semua mengarah ke best practice (praktik terbaik). Kami sendiri di Gapki juga mendorong hal itu terhadap anggota,” pungkasnya.

sumber: cnnindonesia.com