Para petani kelapa sawit mengeluhkan rendahnya harga pembelian tandan buah segar (TBS) sawit oleh pabrik, yakni di bawah Rp 1.000 per kilogram (kg). Harga tersebut tak bisa menutupi biaya pengelolaan kebun, sehingga petani merugi.
Sejumlah petani kelapa sawit di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengeluh akibat harga kelapa sawit hanya mencapai Rp 650 sampai Rp 700 per kilogram.
“Sudah dua bulan ini harga sawit di tingkat pedagang mengalami penurunan jadi di bawah Rp 1.000 per kilogram,” kata petani sawit Sungailiat, Calvin seperti dikutip dari Antara.
Dengan harga kelapa sawit saat ini yang kurang dari Rp1.000 perkilogram tentu merugikan pihak petani karena tidak sebanding dengan biaya pemupukan termasuk biaya rutin pemeliharaan kebun.
Kenyataan yang sama juga dihadapi para petani sawit di Bengkulu. Bahkan di Kabupaten Seluma, harga TBS hanya sebesar Rp 450 per kilogram. Akibatnya, para petani memilih tak memanen buah sawit dan membiarkannya busuk di pohon.
“Sudah dua minggu ini tidak dipanen karena tidak ada tauke yang membeli buah sawit,” kata Mario, petani sawit di Desa Pasar Seluma. Ia mengungkapkan anjloknya harga TBS sudah berlangsung setidaknya sebulan terakhir.
Anjloknya harga sawit juga diperparah oleh pengurangan pembelian oleh pabrik, dengan alasan gudang dan tangki mereka masih penuh dengan stok. Pedagang pengumpul buah sawit, Warno mengatakan dalam dua pekan ini sejumlah pabrik pengolah minyak sawit mengurangi pembelian dari petani karena alasan tangki penampung minyak sawit penuh.
“Beberapa pabrik mengurangi pembelian, jadi kami juga mengantisipasi kerugian dengan mengurangi pembelian dari petani,” kata Warno. Ia pun menceritakan kerugian yang dialaminya mencapai puluhan juta rupiah karena sudah membeli sawit dari petani tapi tidak bisa dipasok ke pabrik.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan penurunan harga dan volume penjualan di pasar global. Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono mengatakan, volume ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical turun sebesar 3% atau dari 2,39 juta ton pada April 2018, susut menjadi 2,33 juta ton pada Mei 2018.
“Ini terjadi akibat perang dagang. China mengurangi impor kedelai dari AS, sehingga stok kedelai di AS melimpah. China sendiri masih punya banyak persediaan. Stok yang berlebih ini menekan semua jenis minyak nabati, termasuk sawit,” kata Mukti melalui pernyataan tertulis, Rabu (11/7).
Yang makin menyulitkan, penurunan ekspor itu justru terjadi ketika produksi CPO meningkat. Jika pada April 2018 produksi sebanyak 3,72 juta ton, maka pada Mei 2018 mencapai 4,24 juta ton atau naik 14%. Kenaikan produksi tersebut mengerek stok minyak sawit Indonesia menjadi 4,76 juta ton dibandingkan bulan sebelumnya yang sebanyak 3,98 juta ton.
sumber: kumparan.com