Menilik Pasang Surut Gelombang Investasi Sawit

Menilik Pasang Surut Gelombang Investasi Sawit

Sawit Notif – Sejarah pengembangan perkebunan kelapa sawit nasional secara komersial telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Sejak dulu hingga kini, dapat dikatakan pertumbuhannya secara ekonomi, teknologi, hingga sumber daya manusia (SDM) sangat pesat. Selama perjalanan panjang itu pula, perkebunan kelapa sawit nasional tidak terhindarkan dari pasang surut gelombang investasi dalam berbagai kondisi ekonomi.

Pertama kalinya, gelombang investasi perkebunan kelapa sawit dimulai pada tahun 1980 – 1990, bermula dari program pemerintah yang dibarengi dengan program transmigrasi nasional. Usaha perkebunan sebagai kegiatan ekonomi berbasis lahan perkebunan dibangun di berbagai daerah jarang penduduk. 

Program yang dinamai pembangunan Perkebunan Inti-Rakyat Transmigrasi (PIR Trans) adalah program yang ditawarkan oleh pemerintah kepada penduduk pada daerah-daerah padat, untuk kemudian dipindahkan ke daerah jarang penduduk. Penduduk yang bersedia akan mendapatkan lahan sebesar 2,25 hektar, dengan rincian 2 hektar untuk pengelolaan perkebunan, dan 0,25 hektar sebagai rumah dan pekarangan. 

Masyarakat tidak ditinggal sendiri untuk mengelola lahan perkebunan pemberian pemerintah itu, beberapa perusahaan perkebunan seperti Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang didanai oleh Kementerian/Lembaga Bank Indonesia (KLBI) dilibatkan untuk membantu masyarakat mengelola perkebunan. Program bantuan ini juga dulunya dikenal sebagai program Anak Bapak Angkat (ABA), dimana, perusahaan perkebunan sebagai Bapak Angkat, dan masyarakat yang terlibat sebagai petani adalah anak. 

Perkebunan sawit menjadi salah satu komoditas perkebunan yang dipilih pemerintah untuk dikembangkan di berbagai daerah yang tersebar di seluruh pulau besar di Indonesia, seperti Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Di waktu yang bersamaan, pemerintah turut memperkuat keberadaan Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) yang pada masa itu membantu pemerintah dalam mengembangkan perkebunan di seluruh pulau besar di Indonesia. Maka tak heran mengapa kini keberadaan perkebunan kelapa sawit hadir merata di seluruh pulau. 

Masa selanjutnya, pemerintah meluncurkan kembali program perkebunan, melalui pembentukan koperasi masyarakat yang bekerjasama dengan perusahan perkebunan, melalui pendanaan perbankan, dengan bunga pinjaman yang disubsidi pemerintah. Melalui Koperasi Kredit Primer untuk anggota masyarakat yang berprofesi sebagai petani diberikan pendanaan dan jaminan dari perusahaan perkebunan yang berlaku sebagai penjamin. 

Pada tahun 1994/1995, pemerintah kembali meluncurkan pendanaan KLBI untuk mendanai program KKPA yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit. Melalui KKPA ini, banyak masyarakat di sekitar perkebunan semakin terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi perkebunan.                                  

Seiring waktu, berbagai perkebunan nasional yang diluncurkan pemerintah, akhirnya menemukan bentuk usahanya. Ada yang mampu bertahan, namun tak sedikit yang gulung tikar. Hal ini lantaran harga jual sawit pada masa itu rentan mengalami fluktuasi. 

Bertahan dari Krisis Ekonomi

Badai krisis ekonomi nasional yang menerpa Indonesia pada tahun 1998, turut melemahkan beberapa industri, namun tidak untuk industri perkebunan kelapa sawit. Sebab, melemahnya mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika malah menguntungkan bagi industri sawit karena produk komoditas yang dihasilkan berupa minyak sawit mentah (CPO) pasar utama penjualannya adalah luar negeri. Sehingga besaran hasil penjualan produk CPO bila dirupiahkan kian membesar, sehingga profit keuntungan usaha sawit semakin meningkat. 

Tahun berganti, CPO dan produk turunannya kian dikenal masyarakat global, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga pasar CPO dan produk turunannya juga semakin bertumbuh lebih luas. Tahun 2006/2007, harga jual CPO dan produk turunannya kian meningkat, seiring dengan penurunan bunga kredit perbankan. Hasilnya, usaha perkebunan kelapa sawit nasional bertumbuh kian pesat. 

Merujuk pada data Kementerian Pertanian RI, Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal perkebunan kelapa sawit nasional tahun 2017 lalu telah mencapai 14,031 juta hektar. Keberadaan perkebunan kelapa sawit tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Besaran luas perkebunan juga sebanding dengan total produksi CPO nasional pada tahun yang sama, sebesar 37,813 juta ton. 

Menimbang Investasi Sawit

Dunia perinvestasian sawit mulai populer sejak tahun 2008 hingga kini. Komoditas CPO dan produk turunannya seakan menjadi alternatif investasi yang banyak diminati investor, baik lokal maupun luar negeri. 

Bila investasi di industri sawit kian meningkat, pemerintah tentu juga harus menanganinya secara baik, karena selain menguntungkan, apabila penanganannya kurang baik, malah bisa menjadi merugikan, bahkan berpotensi restrukturisasi. Investasi perkebunan kelapa sawit nasional dapat diperhitungkan dari beberapa indikator, sehingga apabila terjadi kemacetan finansial, baik investor maupun pemerintah bisa segera mencari jalan keluar.

Selain itu, investasi perkebunan juga bisa diperhitungkan melalui pokok tanaman kelapa sawit di lahannya. Dimana, keberadaan perkebunan sawit cukup banyak dilakukan pada lahan-lahan marjinal, termasuk lahan pasang surut ataupun areal lahan lainnya, dengan beberapa faktor pembatas yang ekstrim.

Asumsi perhitungan keuangan saat investasi, juga dapat menjadi dasar pertimbangan investasi sawit. Sebaiknya asumsi tidak hanya berdasarkan harga jual CPO, namun juga mempertimbangkan berbagai aspek, terutama berdasar teori harga jual dasar, dimana harga komoditas CPO dan produk turunannya, tidak jarang bergerak menuju ke suatu keseimbangan baru. 

Umumnya, investasi perkebunan kelapa sawit di suatu daerah, memiliki multi efek pembangunan yang turut mengembangkan tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Namun, proses pembangunan ekonomi tersebut bisa pula berakibat pada kegagalan perusahaan dalam menjalani proses pembelajaran pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Pasalnya, sering terjadi kekeliruan dalam manajerial pada konteks manajemen pembangunan dan pengelolaan perkebunan secara menyeluruh. Akibatnya, rentan terjadi kekacauan cash flow, dan memuncaknya biaya usaha yang berasal dari mahalnya biaya tak terduga, ataupun akibat kemampuan keuangan perusahaan yang terbatas. Sehingga, perusahaan perkebunan tidak mampu menyediakan modal uang dalam jumlah dan waktu yang tepat. 

Di tingkat perkebunan kelapa sawit nasional, gelombang investasi cukup masif terjadi. Potensi kegagalan investasi dan kebutuhan restrukturisasi keuangan masih cukup besar. Sementara, faktor harga jual CPO yang masih sering mengalami fluktuasi hanya menjadi salah satu faktor pemicu semata. 

Sumber: InfoSawit.com.