Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita masih tidak puas dengan penundaan larangan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan dasar biofuel hingga 2030 oleh Uni Eropa. Uni Eropa seharusnya mencabut sepenuhnya wacana pelarangan yang dapat menghambat ekspor CPO dalam negeri tersebut.
Jadi, dia tetap mempersoalkan pelarangan CPO untuk bahan campuran biofuel. Sebab, wacana tersebut dinilai akan membuat sentimen negatif terhadap industri sawit, termasuk juga di antaranya yang berasal dari Indonesia.
“Seyogyanya tidak dibatasi. Kalau kami batasi Airbus pada 2030 kan juga tidak enak, atau kami bilang (batasi) wine-nya dari Eropa pada 2030 kan juga tidak baik,” kata Enggar di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).
Ia menyatakan, alasan deforestasi yang disampaikan dalam wacana pembatasan sawit tak masuk akal. Contohnya sapi, yang menjadi salah satu penghasil susu dan keju di Eropa, juga kerap menggunduli hutan.
Jika pelarangan penggunaan CPO untuk biofuel tetap dilakukan Uni Eropa, Pemerintah Indonesia bisa saja menolak impor susu dan keju dari Eropa dengan alasan yang sama. Karenanya, Enggar memandang Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa perlu duduk bersama untuk membahas masalah ini.
“Eropa tidak setuju dengan trade war, dont ever start it, karena itu tidak baik. Jangan menuduh negara lain melakukan trade war tapi secara tidak langsung itu juga bentuk trade war,” katanya.
Sebelumnya dikabarkan Uni Eropa akan menunda pelarangan penggunaan CPO sebagai bahan campuran biofuel hingga 2030. Keputusan itu disepakati dalam pertemuan trilog antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa pada 14 Juni 2018 yang juga menghasilkan revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II).
Dalam teks RED II, Uni Eropa sepakat mencapai target energi terbarukan sebesar 32% pada 2030 dari yang ada saat ini sebesar 27%. Kesepakatan baru itu menggantikan rancangan proposal energi yang akan menghapus minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar biofuel pada 2021.
Untuk mencapai target energi terbarukan Uni Eropa, kontribusi biofuel dari sejumlah kategori bahan baku akan dikurangi secara bertahap hingga 2030.
“Biofuel akan dikaji dengan perlakukan yang sama, tanpa melihat sumbernya. Teks RED II tidak akan membedakan atau melarang minyak sawit. Uni Eropa tetap menjadi pasar paling terbuka untuk minyak sawit Indonesia,” kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend dalam keterangan resminya.
Dengan begitu, Uni Eropa menyebut tidak ada pembatasan impor minyak sawit sebagai bahan campuran biofuel dan pasar benua biru tetap terbuka untuk impor minyak sawit.
Uni Eropa merupakan pasar ekspor minyak sawit terbesar kedua. Adapun ekspor minyak sawit ke kawasan tersebut meningkat sebesar 28% pada 2017.
sumber: katadata.co.id