Industri kelapa sawit di Indonesia masih menjadi penyumbang devisa terbesar dari penjualan minyak sawit dan produk turunannya. Tapi sebuah film dokumenter terbaru menunjukkan ada harga yang harus dibayar mahal dari produk yang ‘dibanggakan’ ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor minyak sawit, termasuk produk turunannya di tahun 2017 telah meningkat 26 persen, dengan nilai lebih dari Rp 229 triliun.
Di tahun 2017 nilai minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di tingkat dunia mencapai $714,3, atau lebih hampir Rp 10 juta per metrik ton. Angka ini meningkat dua persen dibandingkan harga rata-rata di tahun 2016.
Tak mengherankan angka komoditas ini terus meningkat, karena kelapa sawit adalah salah satu minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia. Mulai dari untuk keperluan minyak goreng, makanan, kosmetika, dan bahan bakar nabati.
Dengan angka yang fantastis seperti ini tentu ada harga yang harus dibayar dan inilah yang dicoba diulas dalam sebuah film dokumenter berjudul \’Asymmetric\’ produksi Watchdoc.
Film dengan durasi lebih dari satu jam ini diproduseri oleh Indra Jati dan Dandhy Laksono dengan melibatkan belasan videografer yang mencoba merekam keadaaan perkebunan kelapa sawit serta dampaknya bagi warga di sejumlah daerah di Indonesia.
Film ini diputar secara serantak di 27 kota di Indonesia, hari Selasa (13/03) dan kota Melbourne menjadi tempat pemutaran perdana film ini di luar negeri pada hari Rabu (14/03).
Nonton bareng \’Asymmetric\’ di Melbourne digelar di University of Melbourne oleh lembaga Indonesia Forum yang berisi mahasiswa Indonesia dari jenjang S1 hingga S3 yang sedang kuliah di Melbourne.
Siapa yang diuntungkan kelapa sawit?
Usai acara pemutaran film diadakan diskusi dengan menghadirkan Suraya Affif, PhD, antropolog asal Universitas Indonesia yang sedang menjadi dosen tamu di University of Melbourne. Pembicara lainnya adalah Bahruddin, kandidat PhD dan Lilis Mulyani yang juga sedang menyelesaikan jenjang doktor di University of Melbourne.
Dokumenter ini diawali dengan sejumlah dampak lingkungan dari adanya perkebunan kelapa sawit yang meningkatkan risiko kebakaran hutan yang jumlahnya meluas setiap tahun.
Asap kebal ini telah berdampak pada kesehatan warga lokal dan menjadi perhatian dunia karena keluhan negara tetangga soal kebakaran hutan, seperti yang dirasakan di Singapura dan Malaysia.
Sementara di bagian akhir, film ini mencoba membandingkan bagaimana masyarakat Dayak memiliki perencanaan pembakaran yang lebih baik dibandingkan dengan pembakaran yang dilakukan perusahaan operator kelapa sawit. Tak hanya itu, masyarakat adat masih memegang teguh cara pembudidayaan tanaman yang lebih bervariasi.
Lantas siapakah yang sebenarnya mendapatkan kesejahteraan dari ekspansi industri kelapa sawit di Indonesia, yang kini luasnya hampir mencapai luas pulau Jawa? Bagaimana pula keadaan 16 juta petani kecil yang hidup dari industri ini?
Menurut Bahruddin, ada banyak perspektif untuk melihat permasalahan yang kompleks dari industri kelapa sawit. Salah satunya adalah dengan melihat kepemilikan perusahaan-perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit.
“Industri ini sebagian dikuasai oleh politisi dan mereka yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan,” ujar Bahruddin. “Sehingga menjadi sulit bagi pemerintah di daerah setempat untuk memberikan sanksi kepada perusahaan kelapa sawit yang melanggar.”
Dalam dokumenter disebutkan setengah dari orang terkaya di Indonesia adalah pengusaha sawit.
Suraya berpendapat inilah yang menjadi salah satu permasalahan dalam pengaturan industri kelapa sawit, karena terlalu banyak yang terlibat didalamnya. Dan mereka yang terlibat juga dekat dengan pusat kekuasaan.
“Dari sejak jaman Suharto, kepemilikan perkebunan sawit adalah dari kalangan jenderal dan orang-orang terdekatnya. Sepertinya keadaannya masih sama sampai saat ini, seperti anggota parlemen atau orang yang dekat dengan Jokowi”
“Menjadi sulit karena semua pihak akhirnya mencoba mendapat bagian dari sektor yang bisa menguntungkan mereka atau keluargnya ini.”
Sebagai pakar hukum, Lilis yang berasal dari Bandung mengaku jika dokumenter ini menggambarkan dengan baik bagaimana keadaan komunitas lokal di kawasan perkebunan sawit.
“Minyak sawit ini dibutuhkan meski dalam jumlah sedikit, tapi karenanya kita tetap harus menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi warga,” tegasnya.
Tak bisa bersaing dengan perusahaan sawit
Dokumenter ini menayangkan pidato Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Sumatera Selatan untuk peresmian Program Peremajaan Kebun Sawit.
“Indonesia harus dapat memproduksi sawit hingga 8 ton per hektar dalam setahun. Jika perusahaan sawit bisa, maka petani pun harusnya bisa,” kata Presiden Jokowi.
Tayangan ini langsung dijawab dengan kutipan wawancara seorang petani sawit. Menurutnya, bagaimana bisa petani mencapai produksi tinggi jika tidak memiliki modal untuk merawatnya.
Bahkan petani tersebut pun mengeluhkan keperluan sehari-hari keluarganya saja pun sudah sulit untuk dicukupi.
Sementara dari temuan dokumenter disebutkan perusahaan-perusahaan sawit bisa mengelola perkebunannya dalam skala luas dengan bantuan dari sejumlah bank berskala internasional.
Empat bank terbesar di Australia termasuk diantara lembaga keuangan dunia yang membantu membiayai industri kelapa sawit di Indonesia.
Perlukah memboikot produk turunan kelapa sawit?
Salah satu penonton bertanya dalam sesi diskusi apa yang bisa dilakukan oleh kita sebagai konsumen untuk mengatasi permasalahan industri sawit.
Menurut Suraya, kebanyakan yayasan dan lembaga kemasyarakatan bukan milik pemerintah, atau NGO, ketika ditanya apakah mereka akan memboikot produk minyak sawit, jawabannya adalah tidak.
“Kita sebagai konsumen tidak bisa bekerja sendirian. Kita harus melakukannya dengan pihak lain. Meski negara memiliki posisi yang lemah dalam mengatur industri sawit, tapi konsumen harus melibatkan tingkat nasional bahkan internasional.”
Sementara itu menurut Profesor Vedi Hadiz, dosen di University of Melbourne yang juga hadir dalam acara nonton bareng, industri sawit bukanlah kepentingan nasional, melainkan internasional.
“Jadi kita bisa melihat kompleksnya masalah ini dan bagaimana satu sama lain baik di tingkat daerah, nasional, dan internasional, saling terkait.”
Menurut Profesor Vedi, dengan sistem perekomian kapitalis maka tujuan yang diutamakan adalah mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek, tanpa mempedulikan keberlanjutan lingkungan.
“Cara kerja industri kelapa sawit akan terus sustainable, karena profitable.”
sumber: tribunnews.com