Sawit Notif – Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan tidak ada tarik menarik pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk kebutuhan minyak goreng dengan kebutuhan untuk biodiesel, mengutip Kontan.co.id, Senin (21/02).
Mengacu pada data Kementan tahun 2019, pasokan CPO untuk industri makanan mencapai 9.860.000 ton dan 5.831.000 ton untuk biodiesel, 1.056.000 untuk industri oleokimia. Sehingga total kebutuhan CPO untuk kebutuhan industri nasional mencapai 16.747.000 ton.
Selanjutnya, pasokan CPO tahun 2020 untuk industri makanan mencapai 8.428.000 ton dan 7.226.000 ton untuk biodiesel, 1.695.000 untuk industri oleokimia. Total kebutuhan CPO nasional pada tahun itu mencapai 17.349.000 ton.
Di tahun 2021, pasokan CPO untuk industri makanan tercatat 8.249.000 ton dan 6.561.000 ton untuk biodiesel. Serta 1.946.000 ton untuk industri oleokimia, dan total kebutuhan CPO nasional tepat setahun yang lalu mencapai 16.756.000 ton.
Berdasarkan data-data tersebut, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementan Dedi Junaedi menyimpulkan bahwa tidak ada tarik menarik antara kebutuhan biodiesel dengan minyak goreng. Hal ini dikarenakan produksi CPO nasional cukup melimpah sejak tahun lalu, dan tentu mencukupi kebutuhan minyak goreng dan biodiesel yang hanya berkisar 14,81 juta ton.
Dedi turut menerangkan tentang tata kelola CPO di sektor hulu/on farm, di mana senantiasa didorong untuk melaksanakan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, yakni melalui penyelenggaraan pengelolaan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan, sesuai amanat Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Lalu, sebagai petunjuk teknis operasional yang diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 (Permentan no 38/2020), dengan tujuan antara lain meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional, serta meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Terkait permasalahan minyak goreng yang kini sedang terjadi, Dedi mengatakan, Kementan terus mendorong peningkatan produktivitas kelapa sawit, terutama perkebunan rakyat, agar biaya produksinya lebih efisien dan daya saing pun dapat meningkat, minimal sebanyak 6 ton CPO/hektare (ha)/tahun, yang ditempuh melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Selain itu, Kementan memberi fasilitas kemitraan pekebun dan pabrik kelapa sawit (PKS) untuk perlindungan harga tandan buah segar (TBS), yakni Permentan Nomor 1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar agar petani sawit bisa menerima harga jual TBS yang tinggi.
Berikutnya, Kementan mengakui usaha sosialisasi kebijakan DMO dan DPO masih terus dilakukan, dengan harapan program ini tidak menjadi beban bagi para pekebun, serta memperkuat fungsi pengawasan Tim Penetapan Harga TBS. Memantau pergerakan lelang/tender CPO dan minyak goreng/OLEIN di Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) untuk menjaga harga sawit pekebun.
Lebih lanjut, penjalinan komunikasi intensif dengan Dinas Perkebunan Provinsi/Kabupaten/Kota sentra sawit dinilai juga dapat memberi binaan dan pengawasan kepada PKS di wilayah masing-masing untuk selalu mematuhi harga beli TBS petani yang telah ditetapkan Tim Penetapan Harga TBS Provinsi. Hal ini tentu agar petani tidak merugi dan tetap semangat dalam mengelola kebun sawitnya dengan baik, sesuai SOP budidaya sawit yang benar pula.
Adapun proyeksi jumlah produksi CPO di tahun 2022 ini, menurut Dedi sangat memungkinkan bila mencapai angka 52,86 juta ton.
Sumber: Kontan.co.id