Inpres Moratorium Sawit Harus Lindungi Investasi dan Dunia Usaha

Moratorium Sawit

Jakarta – Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas (moratorium sawit) harus memberikan kepastian bagi dunia usaha dan investasi. Sebab saat ini pemerintah sedang mendorong masuknya investasi dan peningkatan ekspor.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan regulasi yang dibuat pemerintah banyak yang tidak sinkron dalam rangka mendorong investasi.

Di sektor perkebunan kelapa sawit, Bhima menilai kebijakan moratorium sawit dan Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2014 jo PP No 57/2016 (PP Gambut) merupakan regulasi yang bisa menghambat investasi.

“Padahal kita tahu bahwa investasi di sektor kelapa sawit memerlukan dana yang cukup besar. Kita juga eksportir besar di mana kita bersama Malaysia menguasai sekitar 90 persen pasar minyak sawit dunia. Sawit juga sebagai penyumbang devisa terbesar,” kata Bhima di Jakarta, Rabu (28/2018).

Bhima menilai kebijakan Presiden yang memerintahkan kementerian melakukan deregulasi merupakan langkah yang tepat dalam rangka mendorong investasi. Namun di tengah upaya tersebut, pemerintah malah membuat inpres moratorium sawit.

“Saya melihat terjadi ketidaksinkronan. Kalau keridaksinkronan ini dilanjutkan maka nanti efeknya investasi dan ekspor tidak bisa optimal, serta cadangan devisa bisa terganggu,” katanya.

Harusnya, lanjut Bhima, sebelum mengeluarkan moratorium, pemerintah hendaknya melakukan kajian terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, baik secara ekonomi maupun dampak terhadap penyerapan tenaga kerja.

Bhima mengingatkan agar pemerintah tidak membuat regulasi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena akan mengakibatkan ketidakpercayaan investor yang akan masuk menanamkan modalnya di Indonesia.

“Kebijakan moratorium ini dipastikan bisa menghambat investasi karena sawit merupakan sektor yang strategis bagi perekonomian nasional,” katanya.

Terkait komoditas strategis, seharusnya pemerintah memberikan banyak insentif. Selain itu, kalau ada hambatan, seharusnya pemerintah memberikan bantuan. Namun sikap pemerintah terhadap sawit ini sebaliknya.

Di kala terjadi hambatan ekspor, para pelaku usaha sawit disuruh menghadapi sendiri hambatan tersebut.

Seharusnya, kata Bhima, pemerintah menempatkan diplomat dagang yang mumpuni untuk enyelesaikan hambatan dagang tersebut.

Kondisi itu, kata Bhima, yang dilakukan negara lain dalam memperlakukan komoditasnya yang dianggap strategis.

“Kalau ini kan tidak, di kala sawit menghadapi kendala dagang, pemerintah membiarkan, malah disuruh menghadapi sendiri. Sawit ini insentifnya kurang, tapi malah ditambah moratorium,” katanya.

Hal senada dikatakan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ekonomi Syariah Universitas Airlangga (Unair) Dr Imron Mawardi.

Menurutnya, moratorium tidak akan menyelesaikan masalah. Persoalan lingkungan dan perizinan perkebunan kelapa sawit tidak perlu diselesaikan melalui moratorium. “Moratorium tidak mendorong investasi dan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah yang jadi alasan dilakukan moratorium,” katanya.

Seharusnya, pemerintah itu memberikan berbagai insentif agar investasi masuk. Karena investasi dan ekspor sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Nah sektor perkebunan sawit ini kan menjadi andalan Indonesia untuk mendongkrak ekspor yang sangat dibutuhkan negara,” katanya.

Pemerintah, kata Imron, seharusnya melindungi sawit melalui pemberian berbagai insentif. Pemerintah juga perlu melobi negara-negara yang menerapkan hambatan perdagangan, terutama dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Inpres Moratorium Sawit Harus Lindungi Investasi dan Dunia Usaha.