Ini Alasan Mengapa Banyak Ahli Mendukung Kelapa Sawit Menjadi Tanaman Hutan

Ini Alasan Mengapa Banyak Ahli Mendukung Kelapa Sawit Menjadi Tanaman Hutan

Sawit Notif – Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bersama Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam (Pusaka Alam) mulai menggarap kajian ilmiah terkait sawit sebagai tanaman hutan.

Studi yang disokong Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini diharapkan menjadi bekal pemerintah untuk mengalihkan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan, sekaligus menyelesaikan persoalan tumpang tindih sekitar 3,4 juta ha kebun sawit di kawasan hutan.

Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Naresworo Nugroho, menyampaikan kajian akan memuat aspek penggunaan lahan, serapan air, laju emisi CO2, produktivitas, pengaruh keanekaragaman hayati, hingga dampak sosial ekonomi sawit. Studi juga akan membandingkan sawit dengan tanaman hutan serta kebun lainnya.

Tim IPB sudah mulai mengumpulkan data serta kunjungan lapangan. Guna melengkapi informasi tersebut, akhir November lalu, IPB University menghelat seminar ilmiah di IPB Convention Center, Bogor, Jawa Barat.

Belasan ahli di bidang kehutanan, pertanian, hidrologi, hingga biologi konservasi diundang untuk menyampaikan pandangan terkait kajian akademis tersebut.

“Beberapa hal sudah ada hasilnya namun belum lengkap dan dilengkapi dalam focus group discussion ini,” ujar dia dalam seminar yang bertajuk “Permasalahan, Prospek, dan Implikasi Sawit Sebagai Tanaman Hutan” tersebut.

Pemanfaatan batang sawit

Naresworo mengemukakan, berdasarkan data yang ada, sawit merupakan tanaman berkayu yang memiliki lignoselulosa – komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan. Sawit juga memiliki jaringan pembuluh xilem dan floem sehingga dapat dikategorikan sebagai pohon berkayu. Komponen-komponen itu juga dimiliki oleh tanaman hutan seperti akasia, ataupun tanaman perkebunan seperti kurma.

Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Erwinsyah, mengatakan batang sawit juga memiliki potensi yang sama dengan tanaman hutan yang kerap dimanfaatkan kayunya seperti akasia, sengon, pinus, ataupun jati.

“90% tanaman sawit itu adalah biomassa. Yang dimanfaatkan negara baru 10% yakni buah sawit,” kata Erwinsyah.

Menurut dia, batang sawi untuk diproses menjadi kayu solid, serbuk partikel, laminated veneer (lapisan tipis) sehingga bermanfaat untuk beragam kebutuhan masyarakat. Namun, produk-produk tersebut masih dalam tahap percobaan.

Batang-batang sawit pun melimpah. Berdasarkan perhitungan Erwinsyah, ada sekitar 40-50 juta meter kubik batang sawit yang berpotensi tersedia setiap tahun. Angka ini berasal dari pohon sawit tua yang selesai masa produksinya dari 400 ribu ha lahan sehingga siap digantikan pohon baru.

Jika peluang ini dimanfaatkan, maka Indonesia dapat mengurangi kebutuhan kayu yang secara tradisional diperoleh dari hutan alam.

Klaim  sawit mampu menyerap karbon

Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Naresworo Nugroho, mengklaim sawit mampu menyerap CO2 sebanyak 51,9 megagram (setara 57,2 ton) per ha/tahun. Angka ini diklaim jauh lebih besar dibandingkan tanaman hutan lainnya seperti sengon (18 ton CO2/ha/tahun), jati (21 ton), mahoni (25 ton), dan pinus (20 ton).

Sayang, Naresworo mengatakan sawit belum diperhitungkan sebagai faktor penting penyebab perubahan iklim lantaran dianggap menyebabkan deforestasi, merusak lingkungan, dan mengurangi keanekaragaman hayati.

“Ini tugas berat pemerintah karena karena emisi kita bisa dikurangi peran sawit yang bisa juga menyerap karbon,” tutur dia.

Keanekaragaman satwa di kebun sawit

Peran sawit terhadap keanekaragaman fauna disampaikan oleh Yanto Santosa, pakar dari IPB yang dikenal gigih memperjuangkan sawit sebagai tanaman hutan sejak 2018 silam.

Yanto yang juga anggota Dewan Pakar Pusaka Kalam ini mengklaim telah meneliti hal tersebut di 25 perkebunan sawit di tujuh provinsi sejak tujuh tahun silam. Studi Yanto mengamati aktivitas satwa di sekitar kebun sawit menggunakan kamera sembunyi, pengamatan langsung, pesawat tanpa awak, dan peranti lainnya.

Hasilnya, perubahan tutupan hutan dari hutan sekunder menjadi kebun sawit memang menurunkan keanekaragaman jenis mamalia. Namun, perubahan kawasan yang tak memiliki tutupan hutan menjadi kebun sawit justru meningkatkan keberagaman berbagai kelompok (taksa) satwa liar – selain mamalia ada amfibi, reptil, dan burung. Jenis-jenis satwa yang ditemukan di kebun sawit juga memiliki kesamaan lebih dari 50% dengan hutan sekunder.

Berdasarkan hasil studi ini, Yanto menganggap area lahan yang terdegradasi – termasuk di antaranya terletak di kawasan hutan – bisa dipulihkan dengan tanaman sawit.

“Secara ekologi lebih bermanfaat ketimbang kawasan hutan (yang ditetapkan pemerintah) namun tidak memiliki tutupan hutan,” ujar dia.

Suara keberatan yang tak kalah ramai

Suara keberatan terkait sawit menjadi tanaman hutan disampaikan oleh Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Sigit Sunarta.

Dia mengakui, sawit adalah komoditas unggulan yang menjanjikan devisa tinggi melalui aktivitas ekspornya. Indonesia tercatat sebagai produsen minyak sawit nomor wahid di dunia.

Namun, keunggulan itu bukanlah alasan untuk memindahkan sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan. Sigit mengkhawatirkan, jika pemerintah menerima usulan tersebut, maka akan terjadi penanaman sawit di kawasan hutan secara besar-besaran.

Nah, risiko tersebut secara ekologi dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati, ketersediaan air, hingga meningkatkan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

“Kebijakan ini menguntungkan siapa? jangan-jangan hanya segelintir orang saja,” ujar Sigit dalam paparannya.

Kementerian Pertanian mencatat baru 35,4% (5,8 juta ha) dari seluruh lahan perkebunan sawit seluas 16,38 juta ha yang tersertifikasi ISPO. Angka perusahaan yang bersertifikat ISPO juga tak jauh berbeda, sekitar 37% (763 perusahaan) dari total 2.056 korporasi terdaftar.

Ketimbang mengurusi peralihan status kelapa sawit, dia menyarankan pemerintah menggenjot pembenahan persoalan kepatuhan hukumnya. Tanpa penerapan prinsip-prinsip yang berkelanjutan secara konsisten, sawit akan terus dituding menjadi biang keladi kerusakan lingkungan.

Pandangan senada juga disampaikan pakar kehutanan dari Universitas Jambi, Bambang Irawan. Menurut dia, semua jenis tanaman yang ditumbuhkan secara seragam (monokultur) – termasuk sawit – bukanlah tanaman hutan. Sebab, secara alamiah, hutan terdiri atas keanekaragaman tumbuhan.

“Meski kayu ulin (tanaman hutan) yang terbaik, endemik Indonesia, kalau ditanam 30 ribu ha itu pasti kontroversial,” kata Bambang.

Dia mengungkapkan, selain persoalan kepatuhan pengusaha dan pekerja kebun, saat ini pengelolaan hutan lestari di Indonesia masih jauh dari memadai. Misalnya kinerja Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang belum optimal menjaga hutan di tingkat tapak karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran.

Berbasis persoalan-persoalan tersebut, Bambang mengkhawatirkan peralihan status sawit justru berisiko menambah angka tumpang tindih sawit di kawasan hutan. Bambang menaksir angka tumpang tindih bisa naik dari sekitar 3 juta ha menjadi 7 juta ha.

Fungsi tata air hutan tak bisa digantikan kebun sawit

Ahli hidrologi lulusan IPB University, Edi Purwanto, menganggap kebun sawit tak bisa menggantikan fungsi hutan yang mengatur tata air melalui daerah aliran sungai (DAS)

Faktanya, kata Edi, tanaman sawit memiliki perakaran dangkal yang berbentuk serabut sehingga tak banyak menyimpan air. Akibatnya, amat sedikit air hujan yang jatuh ke tanah kebun sawit langsung terlimpas ke permukaan.

“Kebun sawit kurang berperan sebagai pengatur tata air DAS jika dibandingkan dengan hutan yang masih baik,” kata Edi.

Persoalan selanjutnya adalah memperbaiki kemampuan penyerapan air kebun sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan. Ada sejumlah opsi yang diusulkan Edi, salah satunya adalah pembuatan rorak.

Rorak adalah lubang-lubang buntu yang dibuat dengan ukuran tertentu di kebun sawit. Lubang ini berfungsi untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedmien.

Wanatani: solusi tumpang tindih sawit di kawasan hutan

Guna mengatasi persoalan kawasan yang terlanjur tumpang tindih, pakar kehutanan Bambang Irawan mengusulkan pendekatan wanatani (agroforestry). caranya melalui penanaman sejumlah tanaman bernilai ekologi dan ekonomi di sela-sela tanaman sawit.

Sejak delapan tahun silam, Bambang mengatakan Universitas Jambi bersama warga telah menginisiasi penanaman tanaman seperti sungkai, jengkol, dan petai, di sela-sela tanaman sawit di Desa Sungai Beras, Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi.

Hasilnya, wanatani meningkatkan angka tutupan kebun, memperbaiki iklim mikro, dan struktur tegakan di sekitar kebun sawit hingga hampir menyamai hutan sekunder. Hutan sekunder adalah hutan alam yang kembali tumbuh setelah rusak akibat aktivitas manusia.

Melalui metode ini, Bambang menganggap wanatani akan berhasil memulihkan kondisi ekologi di kebun sawit sekaligus menambah penghasilan para pekebun. “Karena ada ruang kosong di antara sawit yang bisa dimanfaatkan,” ujar Bambang.

Pengelolaan ruang yang berkelanjutan di konsesi sawit

Pakar biologi konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengemukakan aktivitas perkebunan sawit semestinya bisa dijalankan berdampingan dengan hutan. Caranya melalui penerapan manajemen spasial konsesi sawit yang mengakomodasi ruang untuk konservasi maupun aktivitas masyarakat setempat.

“Ini tergantung bagaimana kita mendesain suatu bentang kebun sawit. Dikotomi hutan lestari dengan kebun tak ada lagi, harus di-blending (campur) supaya tidak saling meniadakan,” ucap Jatna.

Pekebun sawit maupun pemegang konsesi sawit di kawasan hutan, kata Jatna, dapat menyediakan kawasan-kawasan khusus yang berfungsi sebagai koridor habitat – ruang bagi satwa mencari makan dan beraktivitas. Misalnya di tepi sungai.

Kawasan lainnya yang perlu diberi ruang adalah area khusus bagi aktivitas masyarakat adat, maupun kegiatan perekonomian maupun sosial lainnya yang bergantung pada keberadaan hutan.

Penentuan ruang ini mesti didasarkan studi lintas ilmu agar pemilik konsesi tak melihat kawasannya sebagai unit produksi semata, melainkan juga ruang hidup satwa dan komunitas setempat.

Menurut Jatna, pendekatan manajemen spasial sukses meningkatkan keragaman dan interaksi antarspesies satwa di suatu kebun sawit di Sumatra. “Setelah aliran riparian (kawasan sempadan sungai) diperbaiki, tahun 2020 ternyata interaksi antarspesies bagus lagi,” kata dia.

Pendekatan yang hampir sama juga diterapkan di suatu konsesi hutan produksi seluas 360 ribu ha di Merauke, Papua.

Nah, berdasarkan pemodelan spasial – yang diklaim pertama kali diterapkan di Indonesia – konsesi tersebut hanya bisa dimanfaatkan sang pemilik sebesar 50 ribu ha. Area sisanya diperuntukkan bagi koridor habitat satwa, area konservasi lainnya, ruang bagi masyarakat adat, ataupun petani kecil.

“Harus diharmonisasi konservasi dan produksi agar bisa sejalan,” ungkap Jatna.The Conversation


Penulis: Robby Irfany Maqoma, Editor Lingkungan, The Conversation

Sumber: The Conversation