Indonesia Tolak Penyetaraan Industri Kelapa Sawit dengan Industri Tembakau dan Alkohol

Cendekiawan Sawit Indonesia yang terdiri dari para akademisi, peneliti kelapa sawit di bawah koordinasi Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia (Maksi) menolak penyetaraan industri kelapa sawit dengan industri tembakau dan alkohol.

Demikian hasil Focus Group Discussion: Sikap Cendekiawan Sawit Indonesia terhadap Penyetaraan Industri Sawit dengan Industri Tembakau dan Alkohol untuk mengkaji lebih dalam dan menentukan sikap terhadap paper bertajuk “The Palm Oil Industry and Noncommunicable Disesae” dalam buletin resmi yang dirilis oleh WHO (8 Januari 2019).

Paper yang ditulis Kadandale S, Marten R, dan Smith R menyudutkan industri kelapa sawit yang menyetarakan industri kelapa sawit dengan industri tembakau dan alkohol karena memberikan dampak negatif kepada manusia dan kesehatan di bumi.

Maksi sebagai asosiasi terbesar peneliti kelapa sawit Indonesia merespon paper tersebut dengan melakukan FGD di Hotel Grand Tjokro Yogyakarta pada 25 – 26 Januari 2018 yang diikuti 40 peneliti sawit dari seluruh Indonesia dengan dukungan penuh dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan RI.

Pada kesempatan ini hadir pula perwakilan Koordinator Wilayah Maksi diantaranya Maksi Korwil Kalsel dan Kalteng, Maksi Korwil Bengkulu, Maksi Korwil Jambi, Maksi Korwil Kalimantan Barat, dan Maksi Korwil Sumatera Barat.

Dalam diskusi tersebut, Prof Dr Ir Sri Raharjo MSc, ahli pangan UGM berkesempatan membedah paper tersebut secara sistematis dan ilmiah. Dimana banyak celah paper tersebut tidak berimbang dalam menyajikan data-data sekunder yang didapatkan, terlebih lagi konklusi paper tersebut tidak berkesesuaian dengan tujuan penelitian yang di sampaikan dibagian awal paper tersebut.

Senada dengan Prof Sri Raharjo, Dr Puspo Edi Giriwono –sekretaris eksekutif SEAFAST Center LPPM IPB menyatakan bahwa paper tersebut tidak mengedepankan keberimbangan informasi terkait kelapa sawit bahkan bertolak belakang dengan penemuan-penemuan lain terbaru, tidak menyasar kepada solusi tetapi lebih kepada membangun wacana bahwa kelapa sawit adalah sumber masalah dalam kemunculan penyakit tidak menular.

Di akhir diskusi Cendekiawan Sawit Indonesia sependapat bahwa artikel yang dipublikasikan pada Buletin WHO tersebut, bukan studi yang dilakukan oleh WHO, bukan pula kebijakan atau sikap resmi dari WHO.

Disamping itu, penerbit paper tersebut (WHO) menyatakan tidak bertanggung jawab atas isi yang ada di setiap paper yang diterbitkan.

Paper tersebut ditulis bukan oleh peneliti sawit. Metode yang digunakan dalam penulisan paper tersebut menggunakan pendekatan sitasi data sekunder yang terlihat tidak sesuai dengan konten yang disadur. Disamping itu, penerbitan paper tersebut melalui peer-reviewed namun tidak diketahui apakah reviewer pada paper tersebut adalah peneliti sawit atau bukan. Sehingga paper yang dihasilkan melahirkan paper yang bias.

Menurut Cendekiawan Sawit Indonesia paper tersebut ditulis tidak menggunakan data yang berimbang antara dampak positif dan dampak negatif akibat dari industrialisasi kelapa sawit.

“Kami (Maksi) konsen dan mendorong seluruh stakeholder sawit untuk turut mensukseskan industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” kata Ketua Umum Maksi, Dr Darmono Taniwiryono.

Ia pun mengajak seluruh peneliti sawit Indonesia untuk lebih banyak menulis pada jurnal-jurnal internasional antara lain IJOP (International Journal of Oil Palm) yang dikelola Maksi untuk dapat mengemukakan fakta-fakta sawit sesungguhnya.

Kepada awak media, ia juga mengajak untuk lebih mengedepankan objektivitas dalam memberitakan informasi pada khalayak terutama terkait isu kelapa sawit bukan sekedar mempertimbangkan efek viral semata yang kemudian dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat.

sumber: beritasatu.com