Jakarta – Resolusi Parlemen Eropa yang mengusulkan penghapusan minyak sawit sebagai sumber biodiesel belum mengikat secara hukum untuk menjadi keputusan seluruh negara Eropa sehingga Indonesia punya peluang untuk mengalahkan usulan parlemen tersebut.
Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/5/2018) menyatakan bahwa keputusan parlemen Uni Eropa belum menjadi undang-undang yang harus dijalankan.
Diperlukan trialog dengan Komisi Eropa dan Dewan Eropa untuk mencapai keputusan untuk dilaksanakan di negara-negara anggota UE, tambahnya, sementara mulai 27 Maret tahun ini, ketiga badan UE tersebut memasuki putaran kedua perundingan trialog.
“Posisi masing-masing negara anggota UE berbeda-beda, demikian pula posisi parlemen, komisi dan dewan. Hasilnya belum kita ketahui sampai keputusan diperkirakan baru diambil pada 2019,” kata Fadhil.
Sementara itu,Direktur Eksekutif Responsible Palm Oil Initiatives (RPOI) Rosediana Suharto mengatakan ada perbedaan prinsip antara Indonesia dan pihak Uni Eropa mengenai definisi phasing out atau pengurangan pemakaian sawit sebagai sumber energi terbarukan.
Dalam perspektif Indonesia, tambahnya, istilah phasing out sama dengan memboikot minyak sawit masuk ke Eropa.
“Tetapi Eropa pandangannya berbeda. Phasing out ini minyak sawit tetap bisa masuk Eropa. Namun, penggunaan biodiesel sawit tidak dimasukkan dalam target pengurangan gas emisi karbon mereka. Disinilah, kita ingin minta kejelasan mereka,” ujarnya.
Menurut Direktur CPOPC Mahendra Siregar, negara produsen sawit seperti Indonesia, Malaysia dan lima negara produsen lainnya telah mengirimkan surat bersama ke berbagai lembaga di Uni Eropa untuk memprotes penghapusan penggunaan sawit sebagai sumber biofuel.
Posisi negara-negara Uni Eropa, lanjutnya, telah dipetakan mana yang pro dan kontra resolusi sawit. Untuk negara di kawasan Eropa Timur kemungkinan mendukung resolusi lantaran tidak ingin bergantung kepada sawit. Negara nordik berpotensi mendukung perdagangan yang terbuka.
Tetap optimistis Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI Pradnyawati menyatakan, tetap optimistis bahwa Indonesia dapat menghadapi usulan Parlemen Uni Eropa untuk menghapuskan sawit menjadi sumber biodiesel pada 2021.
“Komisi Eropa tidak sekeras parlemen karena sejalan dengan council yang menjadi perwakilan negara EU,” ujarnya dalam Seminar “Renewable Energy Directive II dan Usulan Kebijakan EU Untuk Menghilangkan Penggunaan Minyak Sawit Dari Energi Terbarukan”, Selasa, (24/4) lalu.
Menurut Pradnyawati, pelarangan palm oil biofuel melanggar prinsip nondiskriminasi General Agreement on Tariff and Trade (GATT) di bawah WTO.
Salah satunya artikel XI:I dan Artikel XIII yaitu selain bea masuk, pajak, atau pengenaan biaya lain, tidak boleh ada pelarangan atau pembatasan yang diberlakukan dalam bentuk kuota, lisensi impor, dan ekspor. Dimana hal tersebut harus diberlakukan terhadap barang sejenis yang diimpor semua negara.
Dia mengatakan, resolusi Parlemen Uni Eropa sempat diusulkan pada 2016 untuk pertama kalinya. Ada sejumlah usul antara lain penghapusan sawit dari sumber bahan baku biodiesel, skema single certification, dan perbedaan perlakuan antara minyak sawit bersertifikat dan non sertifikat.
“Tetapi, usulan tersebut ditolak Komisi Eropa dengan pertimbangan mengapresiasi upaya negara lain. Berkaca dari situ, saya optimis masih ada harapan,” ujarnya.
Sementara itu Direktur Sustainable Development MVO Belanda, Edy Esselink, menjelaskan bahwa resolusi parlemen tidak punya kekuatan hukum. Karena proses legislasi di Uni Eropa harus melalui trialog yaitu parlemen, council, dan commision.
“Hanya komisi yang dapat mengajukan legislasi. Selanjutnya perlu ada kesepakatan bersama dengan council,” katanya.
sumber: industry.co.id