Sawit Notif – Environmental Investigation Agency (EIA) mendesak Indonesia untuk melanjutkan moratorium sawit, serta meminta pemerintah Indonesia untuk merevisi skema sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Hal itu disampaikan EIA bersama dengan perilisan laporan terbarunya berjudul Deforestation and Deregulation – Indonesia’s policies and implications for its palm oil sector dengan mitra Indonesia Kaoem Telapak, mengutip Kompas.com.
Laporan yang dirilis oleh organisasi berbasis di London tersebut merupakan bentuk dari peringatan bahwa penebangan hutan ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan tudingan korupsi terus menodai sektor minyak sawit Indonesia.
Juru Kampanye Hutan EIA, Siobhan Pearce mengatakan, pada tahun 2020 lalu, pemerintah Indonesia melaporkan tingkat deforestasi Indonesia yang termasuk salah satu yang terendah, yakni 115.459 hektare. Menanggapi laporan tersebut, EIA menilai, meskipun hasil laporan masih bisa diperdebatkan, EIA tetap menyambut baik dan menganggap angka tersebut merupakan awal dari langkah yang benar.
Di sisi lain, Pearce mengungkapkan bahwa langkah itu berpotensi rusak setelah disahkannya UU Cipta Kerja, sebab kebijakan sosial dan lingkungan dapat terancam dengan adanya kebijakan mempromosikan investasi dan pembangunan.
Laporan EIA berisikan analisa dampak dan efektivitas berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai sektor kelapa sawit. EIA menyimpulkan masih banyak yang harus dilakukan untuk melindungi hutan yang tersisa agar tidak dikonversi, terutama menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tercatat sekitar 3,37 juta hektare konsesi perkebunan kelapa sawit yang masih berada di dalam kawasan hutan, dengan sebagian besar lahan hutan yang belum dibuka.
Oleh karena itu, dengan dilanjutkannya moratorium sawit, diharapkan terselenggara lagi kegiatan peninjauan seluruh area hutan dan setiap pelanggaran dalam proses perizinan.
Salah satu bagian yang menjadi sorotan pada laporan EIA, terpaparkan bahwa moratorium yang telah terlaksana selama hampir tiga tahun dapat dikatakan tidak jelas efektivitasnya akibat kurangnya transparansi dan koordinasi.
Menariknya, hanya ada satu provinsi yang menyelesaikan evaluasi perizinan di sektor perkebunan kelapa sawit, yaitu Papua Barat, di mana terdapat 12 dari 24 perusahaan kelapa sawit yang tidak memenuhi syarat dalam perizinan operasi.
Pearce menilai, moratorium sawit cukup berguna untuk membatasi resiko terburuk dari ekspansi kelapa sawit.
“Kami sangat mendesak Pemerintah Indonesia memperbaharui larangan perkebunan di kawasan hutan dan harus ditingkatkan ke tingkat Keputusan Presiden untuk menjadikannya persyaratan hukum yang mengikat,” ujar Pearce.
Sumber: Kompas.com