Bagi CEO yang telah memimpin AAL sejak April 2017 lalu ini beranggapan, negosiasi dagang ke Eropa ini memiliki peluang keberhasilan yang cukup besar. Terlebih mengingat potensi pasar (secara bisnis) minyak sawit di Eropa yang kecil. Tercatat, jumlahnya hanya sekitar 2 juta ton per tahun.
Angka tersebut masih sangat jauh di bawah kapasitas produksi yang dimiliki Indonesia dan Malaysia. Di mana jumlahnya mampu mencapai berkali-kali lipat di atasnya, yaitu sekitar 54 juta ton per tahun.
“Secara bisnis, Eropa itu insignifikan. Sebetulnya kita tak perlu terlalu khawatir kehilangan pasar minyak sawit di Eropa karena dari total kita berdua dengan Malaysia mencapai 54 juta ton per tahun, sedangkan volume pasar Eropa cuma 2 juta ton per tahun. Nothing-lah sebenarnya, hanya kita antisipasi dari sisi politisnya,” ucapnya.
Selain itu, negara-negara Eropa mengakui bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat besar. Karena itu, Santoso sangat berharap agar para menteri terus mengupayakan negosiasi dagang yang berimbang dengan negara-negara tersebut.
“Pemerintah harus lebih intensif memperjuangkan keberlanjutan dominasi Indonesia dalam pasar sawit dunia karena sawit merupakan salah satu dari dua komoditi asli Indonesia yang paling kuat daya saingnya di pasar global bersama batubara,” tegasnya.
Tanggapan Seputar Aksi Demo Malaysia Menentang Kebijakan Parlemen Eropa
Terkait maraknya aksi demo yang terjadi di Malaysia yang menentang berbagai kebijakan parlemen Eropa yang anti terhadap pengembangan sawit di Malaysia, Santosa justru mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak perlu demo-demoan sebab aksi demo tersebut tidak memberikan dampak.