Demi Sawit dalam Negeri

Pemerintah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir cukup dipusingkan dengan kebijakan penolakan Uni Eropa terhadap komoditas sawit nasional. Isu ini sebetulnya sudah cukup lama bergulir dan kian kencang sejak tahun lalu. Kini, arah kebijakan penolakan yang kian nyata membuat Indonesia bersama sejumlah negara produsen sawit lainnya semakin gencar melawan praktik yang diduga sebagai bentuk diskriminasi penggunaan produk biodiesel atau minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO).

Selain merupakan potensi ekspor nasional, komoditas sawit digadang menjadi salah satu pilar pengentasan kemiskinan di Indonesia. Negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia, memandang rancangan aturan Komisi Eropa yang mengisolasi CPO sebagai bentuk kompromi politis di internal negara-negara Eropa.

Di Balik Potensi

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Selain sebagai salah satu komoditas ekspor penghasil devisa negara selain minyak dan gas, Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar dunia.

Pada 2016 hingga 2017, areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia tersebar di 25 provinsi yaitu seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat. Perkembangan produksi minyak sawit (CPO) dari 2013 sampai dengan 2016 juga selalu mengalami peningkatan per tahun (BPS, 2018).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pernah mengatakan, sawit bukan hanya menyumbang devisa terbanyak, tetapi juga turut mempekerjakan orang banyak. Menurutnya, sawit menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 7,5 juta orang, ditambah 12 juta tenaga kerja tidak langsung.

Masih menurut Darmin, small holders petani rakyat adalah sekitar 2,6 juta hektar dan telah mampu mempekerjakan sekitar 4,6 juta orang. Data BPS juga menunjukkan bahwa produksi CPO dari pertanian rakyat mencapai 36,90 persen terhadap total produksi CPO pada 2017.

Namun di balik segala potensi dan keuntungan dari industri sawit beserta turunannya, komoditas ini dianggap memiliki beberapa hal “gelap” di dalamnya. Pihak Parlemen Uni Eropa menganggap bahwa cara yang dilakukan Indonesia dalam memproduksi kelapa sawit tidak benar atau tidak memenuhi standar produksi Uni Eropa (European Parliament, 2017).

Setidaknya ada lima alasan Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan turunannya. Yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (Sidik, 2018). Indonesia dianggap sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut.

Sebagai contoh, pada perkebunan sawit perdesaan khususnya, masih banyak ditemui pemanen yang membawa istri dan anaknya saat memanen. Hal ini biasanya dilakukan para pekerja untuk dapat mencapai jumlah sesuai target yang ditetapkan untuk mendapatkan bayaran harian. Para pekerja wanita juga biasanya tidak bisa leluasa untuk mendapat cuti haid atau hamil dalam biang pekerjaan ini.

Di sisi lain, meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, namun kenyataan praktik pekerja anak masih sering ditemui dalam bidang industri sawit nasional. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh COMO, CV International dan HUKATAN, jaminan sosial biasanya hanya diberikan pada para pekerja di perusahaan pengolahan sawit, dan bukan para pekerja pemanen di perkebunan.

Hal-hal di atas masih separuh dari permasalahan industri sawit nasional yang pernah disampaikan oleh Uni Eropa berdasarkan beberapa penelitian. Namun cukup jelas bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah dalam membenahi industri sawit dalam negeri.
Terkait pelarangan ekspor CPO ke Uni Eropa, Indonesia berniat mengajukan aduan ke World Trade Organization (WTO) jika Parlemen Eropa sampai menyetujui rancangan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019.

Dalam rancangan tersebut, Komisi Eropa memutuskan untuk mengklasifikasikan CPO sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. Hal ini akan memberikan Uni Eropa memiliki dasar hukum untuk melarang masuknya CPO ke Benua Eropa.

Wajib Berbenah

Produksi CPO Indonesia selama ini sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor Indonesia telah menjangkau lima benua yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia.

Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar kedua produk minyak kelapa sawit dan turunannya. Pada 2018, ekspor ke Uni Eropa mencapai 4,7 juta ton atau 14,67% dari total ekspor sebesar 32,02 juta ton. Meski cukup mendominasi, namun bukan berarti sawit nasional hanya berpotensi dipasarkan ke Uni Eropa.

Hal ini terbukti dari sambutan baik yang pernah dilontarkan PM China Li Keqiang pada 2018 lalu. PM Li saat pertemuannya dengan Presiden Jokowi mengaku bersedia membuka hubungan bagi masuknya produk Indonesia seperti kelapa sawit dan buah-buahan lainnya. Li bahkan menyanggupi peningkatan ekspor kelapa sawit hingga 500 ribu ton pada pertemuan tersebut. Memaksimalkan pangsa pasar di Asia, jika memang masih dimungkinkan, adalah peluang yang tentu tidak boleh ditinggalkan.

Selain China, Amerika Serikat (AS) juga bisa menjadi salah satu peluang negara tujuan pemasaran kelapa sawit nasional. Peluang ini muncul setelah AS menerapkan regulasi yang melarang penggunaan minyak nabati yang mengandung trans fatty acid untuk makanan manusia mulai 2018. Kandungan ini, terdapat pada minyak olahan dari kedelai dan jagung yang selama ini menjadi pesaing CPO.

Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor CPO dan produk turunannya dari RI ke AS sepanjang Januari-November 2018 mencapai 1,109 juta ton. Angka ini pun dianggap masih bisa ditingkatkan. Pasalnya, produk biodiesel asal Indonesia masih dikenai bea masuk sebesar 300% oleh United State International Trade Commission (USITC) pada 18 April 2018 lalu.

Hal ini dikarenakan National Board Biodiesel (NBB) asal AS menganggap biodiesel asal RI yang dibuat dari CPO disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya menjadi lebih murah. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk bisa memperjuangkan status biodiesel produksi nasional di mata AS.

Sementara itu setiap peluang yang muncul dalam memasarkan sawit nasional, ada baiknya dioptimalkan dengan dibarengi penyebaran isu-isu positif terkait produksi sawit nasional. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menghindari kampanye negatif seperti yang sudah terjadi di Uni Eropa. Pembenahan industri sawit dalam negeri merupakan salah satu upaya terbaik yang masih harus terus ditingkatkan.

Indonesia sebagai negara berdaulat dengan sekian banyak potensi sumber daya alam tentu tidak ingin menjadi bangsa yang dicap “meminta-minta” agar produknya dibeli. Kita mungkin berhak mempertanyakan, atau melakukan perlawanan jika memang diduga keputusan Uni Eropa tidak lebih dari langkah politis dan diskriminatif. Namun kita juga wajib berbenah.

Terlepas apapun alasan sebenarnya dari penolakan Uni Eropa, Indonesia kini sudah selayaknya merencanakan dengan baik langkah-langkah untuk terus bergerak maju, terus memperbaiki diri, sehingga mampu mempertahankan arus ekspor sawit dalam negeri dengan penuh percaya diri.

sumber: detik.com