Banjir dan Longsor di Indonesia: Saatnya Melihat Fakta Ilmiah, Bukan Asumsi

perkebunan-sawit

Sawit Notif – Isu mengenai hubungan perkebunan kelapa sawit dengan bencana banjir, longsor, dan kebakaran hutan kembali mencuat dalam diskusi publik. Namun, para ahli menegaskan bahwa dinamika lingkungan tidak dapat dijelaskan hanya dengan menyalahkan satu jenis penggunaan lahan. Berbagai faktor saling berinteraksi dan perlu ditelaah secara lebih menyeluruh.

Dilansir dari sawitindonesia.com, dalam perdebatan publik kerap muncul pandangan yang saling bertentangan sawit disebut menghambat resapan air, namun di sisi lain dituding menyedot air tanah hingga memicu kekeringan. Kontradiksi ini menunjukkan perlunya penjelasan berbasis data ilmiah dan observasi lapangan.

Bencana Hidrometeorologi Dipicu Banyak Faktor

Pakar lingkungan menjelaskan bahwa banjir dan longsor biasanya dipengaruhi kombinasi faktor, bukan hanya keberadaan perkebunan sawit. Beberapa faktor utama yang turut memperburuk kondisi antara lain ketidaksesuaian tata ruang, degradasi daerah aliran sungai (DAS), sedimentasi, pembalakan liar di hulu, perluasan permukiman di area rawan, serta curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim.

Karena itu, menentukan penyebab bencana membutuhkan kajian teknis yang komprehensif, bukan sekadar mengaitkannya pada satu komoditas.

Data Riset: Sawit Bukan Pemicu Kekeringan

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan air tanaman sawit relatif rendah dibanding tebu, padi, kedelai, kapas, dan beberapa tanaman minyak nabati lainnya. Jejak air (water footprint) sawit juga termasuk salah satu yang paling rendah.

Selain itu, sistem perakaran sawit mampu meningkatkan infiltrasi dan ikut membantu pengisian air tanah. Struktur akar dan kanopi yang rapat bahkan dapat mengurangi erosi dan menjaga kelembapan tanah. Fakta ini menegaskan bahwa sawit bukan penyebab kekeringan maupun hambatan resapan air.

Karhutla: Penyebab Perlu Dipetakan Secara Akurat

Kebakaran hutan dan lahan juga merupakan persoalan multifaktor. Secara ekonomi, perkebunan sawit yang sudah berproduksi justru berkepentingan mencegah kebakaran karena dapat menimbulkan kerugian besar.

Penelusuran sejumlah studi menunjukkan bahwa sumber api paling sering berasal dari praktik pembukaan lahan ilegal, kondisi gambut yang sangat kering saat kemarau panjang, serta titik api yang muncul di luar area perkebunan namun merembet ke kawasan lain. Karena itu, identifikasi penyebab karhutla harus dilakukan berdasarkan lokasi dan kondisi lapangan.

Curah Hujan Ekstrem Jadi Pemicu Dominan

Sejumlah akademisi menyebut curah hujan ekstrem sebagai penyebab utama bencana yang terjadi di beberapa wilayah seperti Sumatera dan Aceh. Intensitas hujan harian yang setara hujan satu setengah bulan membuat tanah tidak mampu menyerap air secara optimal.

BMKG turut melaporkan fenomena hujan ekstrem pada akhir November 2025 sebagai pemicu utama banjir dan longsor. Di sisi lain, ahli kehutanan menegaskan bahwa degradasi hutan Indonesia telah berlangsung sejak lama melalui pembalakan liar dan lemahnya pengawasan, jauh sebelum perluasan perkebunan sawit terjadi.

Sawit dan Upaya Pembangunan Berkelanjutan

Sawit tetap memiliki peran penting ketika dikelola sesuai prinsip keberlanjutan. Tanaman ini memiliki kemampuan menyerap karbon, menghasilkan minyak dalam jumlah besar dari penggunaan lahan yang efisien, serta menjadi penopang ekonomi petani dan masyarakat desa.

Kesimpulannya, bencana seperti banjir dan longsor merupakan fenomena yang dipengaruhi banyak faktor mulai dari tata ruang, kondisi hidrologi, hingga aktivitas manusia. Sawit memiliki kebutuhan air relatif rendah dan tidak terbukti menyebabkan kekeringan. Penyebab karhutla pun lebih banyak terkait faktor eksternal. Karena itu, diskusi mengenai sawit dan lingkungan perlu berpijak pada data ilmiah agar masyarakat memperoleh gambaran yang lebih objektif dan proporsional. (AD)(DK)(SD)