Bagaimana Masa Depan Industri Sawit Indonesia?

Bagaimana Masa Depan Industri Sawit Indonesia?

MEDAN – Saat ini, Indonesia masih berada di posisi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dengan menguasai 58% pangsa pasar sawit dunia.

Mengutip Medcom.id, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) periode 2012 – 2020, Derom Bangun mengatakan bahwa Indonesia telah memproduksi Crude Palm Oil (CPO) untuk dunia sebanyak 44.500 – 49.000 ton.

“Produksi sawit di Indonesia sudah naik sejak 80-an. Kemudian meningkat lebih tajam dekade 90-an dan dekade 2.000-an. Bahkan pada 2006 sudah menyamai produksi CPO Malaysia,” ujar dia, dikutip dalam paparannya dalam sebuah webinar, Senin, 21 Juni 2021.

Derom mengatakan, sama dengan industri lainnya, kedepannya industri sawit juga akan menghadapi era digitalisasi 4.0, atau bahkan lebih. Tentu diiringi dengan peningkatan produktivitas, bibit bermutu, digitalisasi operasional perkebunan dan industri sawit. 

“Digitalisasi juga meningkatkan efisiensi sekaligus menyesuaikan cara-cara new normal dalam masa pandemi. Berbagai kegiatan seperti pembibitan, pemupukan, panen dan pengangkutan dapat diefisienkan dengan cara digitalisasi,” jelasnya.

Di sisi lain, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) saat ini telah memperkenalkan teknologi pertanian sawit terbaru, yaitu DxP PPKS 540 yang fungsinya diklaim mampu memproduksi hingga 35 ton tandan buah segar (TBS) per hektar dan minyak sawit mentah sebanyak 10 ton per hektar.

“Jika 70 persen dari luas areal perkebunan sawit Indonesia yang 16,38 juta ha menggunakan bibit sawit tersebut, maka total produksi CPO Indonesia bisa mencapai 100,9 juta ton per tahun. Ini suatu capaian yang kita yakini dapat diperoleh masa depan dengan digitalisasi,” tambah Derom.

Chief Executive Officer (CEO) Esri Indonesia, Achmad Istamar mengatakan kepada Medcom.id, terkait penerapan digitalisasi ini, industri sawit bisa menerapkan teknologi GeoAI dalam sektor pertanian. Teknologi tersebut secara presisi dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit dengan bantuan monitor tanaman, kandungan nitrogen, dan kadar tanah oleh teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). 

Selain itu, teknologi GeoAI juga dapat mengidentifikasi tanaman yang memiliki penyakit, serta kemampuan deteksi titik api (hotspot) dengan mengklasifikasi titip api yang probabilitas tinggi maupun rendah dapat membantu para petani dalam mengetahui kematangan TBS.

“Kami saat ini sedang melakukan penelitian dengan komputer untuk melihat tingkat kematangan buah, sehingga tingkat kematangan bisa standar yang mampu diakses oleh semua orang,” pungkasnya.

sumber : medcom.id