Jakarta – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit mencatat, telah menyalurkan pembayaran subsidi biodiesel sebesar Rp10,3 triliun untuk 2,37 juta kiloliter (kl) kepada 19 perusahaan produsen biodiesel sepanjang 2017. Subsidi tersebut dibayarkan atas selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan (HIP) solar sesuai produksi biodiesel masing-masing perusahaan.
Istilah ‘subsidi’ datang dari Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang perkebunan sawit pada 2016. Dalam kajian itu, lembaga antikorupsi itu mengkritik penggunaan dana perkebunan kelapa sawit yang habis untuk program biodiesel semata.
Berdasarkan data BPDP-KS, lima perusahaan sawit terbesar menerima 76,87 persen dari total pembayaran atau berkisar Rp7,92 triliun. Sementara, 23,13 persen sisanya dialokasi untuk 14 perusahaan lainnya.
Jika dirinci, pembayaran terbesar diterima oleh Grup Wilmar dengan porsi 36,85 persen dari total seluruh pembayaran atau berkisar Rp3,79 triliun. Berikutnya, Grup Musim Mas mengekor dengan menerima 15,58 persen dari total pembayaran. Setelah itu, Grup Darmex 12,46 persen, Grup Permata 6,18 persen, dan Grup Sinarmas 5,8 persen.
“Selama ada selisih antara HIP Biodiesel dengan solar maka kami akan memberikan insentif (subsidi). Tetapi jika selisih HIP-nya turun, atau sama, kami tidak memberi insentif,” ujar Direktur Penyaluran Dana BPDP Sawit Edi Wibowo dalam konferensi pers di Graha Mandiri, Selasa (6/3).
Sebenarnya, lanjut Edi, penerimaan dana pungutan sawit tahun lalu mencapai Rp14,2 triliun. Dana pungutan tersebut dibayarkan atas ekspor 37 juta ton produk kelapa sawit mentah (CPO) dan turunnya.
Sisa dana pungutan sawit yang tidak dibayarkan untuk subsidi akan digunakan untuk mendanai program peremajaan kebun sawit kembali (replanting). Tahun ini, BPDP Sawit ingin meningkatkan porsi alokasi dana replanting dari 5 persen menjadi 22 persen dari total penggunaan dana patungan.
Selain itu, dana sawit juga digunakan untuk kepentingan pengembangan industri sawit seperti pelatihan dan pengembangan petani, riset dan pengembangan, serta promosi dan advokasi. Sisanya, akan dimasukkan ke dalam dana cadangan. Disebut Edi, sejak BPDP Sawit berdiri pada pertengahan Juni 2015, akumulasi dana cadangan BPDP mencapai Rp8 triliun hingga Rp11 triliun.
“Dana cadangan ini, misalnya, jika insentif biodiesel memerlukan pembayaran lagi, itu bisa diambil dari situ,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Utama BPDP Sawit Dono Boestami menambahkan, skema pembayaran selisih harga produksi biodiesel dengan sawit tersebut, berdampak positif pada fiskal negara. Dengan adangan skema tersebut, pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran sebesar Rp21 triliun pada APBN 2015 – 2017 untuk kebijakan mandatori biodiesel. Selain itu, pemerintah juga bisa menghemat devisa negara hingga Rp14,83 triliun per tahun karena tidak perlu impor bahan bakar jenis solar sekitar 3 juta kl.
“Penghematan dana ini digunakan untuk perluasan berbagai macam program pemerintah termasuk penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan,” ujar Dono dalam keterangan tertulis.
Tahun ini, BPDP Sawit memperkirakan penerimaan dana pungutan sawit hanya akan berkisar Rp10,9 triliun hingga Rp13 triliun. Hal ini mempertimbangkan proyeksi ekspor tahun ini yang harus menghadapi tantangan di pasar Amerika Serikat dan Eropa.
Dana pungutan sawit tersebut akan dialokasikan untuk pembayaran insentif biodiesel dengan alokasi sebesar 70 persen, peremajaan 22 persen, pengembangan SDM dua persen, penelitian dan pengembangan dua persen, sarana dan prasarana dua persen, dan promosi dua persen.
sumber: cnnindonesia.com