Sawit Notif – Dalam beberapa tahun terakhir, tren penetapan harga karbon (carbon pricing) kian berkembang. Mengacu pada laporan World Bank, mengutip Katadata.co.id, saat ini ada 64 instrumen penetapan harga karbon (CPIs) secara global. Keseluruhan instrumen tersebut menghasilkan pendapatan hingga US$ 53 miliar, terhitung hingga tahun 2020. Bahkan pasar karbon sukarela juga telah terbentuk dan mencatatkan pertumbuhan hingga US$ 1 miliar.
Pemerintah Indonesia lantas turut menyambut tren ini dengan menerapkan kebijakan carbon pricing, per Maret 2022 melalui skema pajak karbon (carbon tax). Aturan carbon tax telah disahkan melalui Undang-undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penerapan aturan tersebut akan dilakukan secara bertahap kepada semua industri penghasil emisi karbon.
Sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara merupakan salah satu sektor yang akan terdampak kebijakan ini, tepatnya pada 1 April 2022, dengan perkiraan tarif Rp 30 per kilogram CO2e.
Industri kelapa sawit sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar tentu tak luput dari aturan ini. Dengan adanya carbon pricing, perusahaan sawit dinilai dapat memaksimalkan potensi karbon menjadi lahan keuntungan baru. Berdasarkan kalkulasi lembaga riset Orbitas pada 2021, perusahaan sawit dapat mengambil potensi keuntungan hingga US$ 12,5 miliar per tahun dari kredit karbon. Namun, terdapat syarat yang harus dipenuhi, seperti melakukan konservasi 9 juta hektare lahan yang belum ditanam, dan harga karbon tersimpan berada di kisaran US$ 15 per ton CO2e.
Dalam hal operasional perusahaan, penghematan dapat dilakukan dari sisi biaya emisi yang hanya mencapai 14 persen dari total biaya produksi pada 2040. Asumsi ini berdasarkan skenario agresif dari resiko transisi perubahan iklim, dimana emisi yang keluar saat operasional dapat berkompromi dengan total biaya operasional di tahun tersebut. Adapun persyaratan yang dibutuhkan adalah tarif pajak karbon yang berlaku sebesar US$ 5 hingga 44 per ton CO2e pada skenario sederhana hingga agresif.
>Dengan munculnya tren ini, industri sawit Indonesia harus beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, maka dibutuhkan strategi optimal bagi industri sawit Indonesia. Sementara dari sisi investasi, mengembangkan teknologi pengurangan emisi seperti methane capture dan kogenerasi biogas tentu memerlukan modal yang tidak sedikit. Selain itu, para investor dan perusahaan juga perlu mengkalkulasi biaya kredit karbon.
Pada sisi operasional, Orbitas menilai produsen dapat memaksimalkan penggunaan lahan yang telah ada, tanpa perlu membuka lahan baru. Pengurangan penggunaan solar untuk transportasi pengangkutan tandan buah segar (TBS) juga dapat memberi efisiensi energi produksi. Penting pula melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok sawit.
Terakhir, dari sisi teknologi, penggunaan teknik agroforestri baru tampaknya akan membantu produsen memperbesar panen. Kemudian, untuk mengukur potensi karbon yang dapat dihasilkan dari program konservasi dan restorasi gambut dan hutan, diperlukan teknik penghitungan yang tepat pula.
Sumber: Katadata.co.id