Sawit Notif – Hidrogen menjadi sumber energi alternatif yang kian banyak dipakai di dunia. Material ini menjadi primadona baru – terutama dari sektor industri – lantaran tidak menghasilkan polutan ke udara, hanya menghasilkan air.
Hidrogen diminati sektor transportasi karena dapat disimpan dalam bentuk yang portabel melalui fuel cell (sejenis tempat penyimpanan energi). Kebutuhan ruang penyimpanannya pun lebih kecil — sekitar separuh dari dimensi baterai kendaraan listrik. Pengisian ulang hidrogen juga jauh lebih cepat: hanya lima menit ketimbang lama pengisian baterai mobil listrik selama 1,5-8 jam.
Kendati begitu, sejumlah pakar mengkhawatirkan produksi hidrogen besar-besaran juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca. Badan Energi Internasional (International Energy Agency) mencatat, sekitar 96% hidrogen yang diproduksi di dunia berasal dari gas alam maupun batubara. Proses ini menghasilkan 830 juta ton CO2 per tahun–
setara dengan gabungan emisi yang dikeluarkan di Indonesia dan Inggris.
Persoalan ini bukan tanpa solusi. Hidrogen sebenarnya dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang ramah lingkungan melalui proses yang minim emisi. Salah satu sumber yang potensial adalah limbah cair dari pabrik pengolahan kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME) untuk menghasilkan biohidrogen.
Bagaimana biohidrogen diproduksi?
POME dihasilkan dari aktivitas pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Setiap pengolahan satu ton TBS akan menghasilkan lebih dari separuh (sekitar 583 kg) limbah cair POME. Saat ini potensi POME di Indonesia adalah sekitar 42,28 juta ton/tahun yang berasal dari pengolahan 72,5 ribu ton TBS.
POME memiliki kandungan organik yang tinggi, misalnya senyawa selulosa dari kelapa sawit dan minyak yang tidak terekstrak. Limbah cair ini tak bisa dibuang sembarangan karena berisiko bagi lingkungan dan berpotensi melepas emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Melalui metode fermentasi, POME dapat diolah untuk menghasilkan sumber energi biohidrogen maupun biogas. Biogas kerap digunakan untuk menghidupkan pembangkit listrik maupun menyalakan api kompor rumah tangga.
Nah, produksi keduanya dapat dilakukan secara beriringan. Caranya melalui pencampuran lumpur aktif yang berasal dari pembuatan biogas dengan POME ke dalam reaktor untuk memproduksi gas hidrogen melalui proses fermentasi gelap (berlangsung tanpa cahaya).
Biohidrogen yang dihasilkan kemudian ditampung dalam suatu wadah. Studi menunjukkan, satu ton POME bisa menghasilkan 41 meter kubik (m3) gas Hidrogen. Setiap 1 m3 bahan bakar ini dapat menyalakan mobil untuk menempuh jarak sejauh 8,9 km.
Produksi biohidrogen lalu menghasilkan cairan sisa yang bertekstur bak bubur. Cairan ini dialirkan ke dalam reaktor biogas untuk kembali diolah dalam proses pembuatan biogas kembali.
Jalan panjang yang layak dijajaki
Penelitian hidrogen masih terus dilakukan untuk agar bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Pengembangan biohidrogen juga dapat menjadi salah satu alternatif sumber hidrogen yang minim emisi dibandingkan hidrogen konvensional, meskipun masih diperlukan penelitian yang cukup panjang.
Sejauh ini, belum ada satupun unit pengolahan POME menjadi hidrogen. Proyek uji coba sedang dilakukan Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam rangka produksi biohidrogen dari POME menggunakan reaktor berkapasitas 1 meter kubik.
Namun, gas hidrogen yang dihasilkan reaktor tersebut masih rendah, tak sampai 1% per meter kubik POME. Supaya produktivitas reaktor meningkat, proses fermentasi perlu ditunjang mikroorganisme yang tepat. BRIN masih terus melakukan penelitian guna memecahkan persoalan tersebut.
Selain di Indonesia, riset seputar biohidrogen dari POME juga banyak dilakukan oleh para peneliti dari Malaysia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Pemerintah seyogyanya terus mendorong dan mendukung penelitian dan pengembangan produksi hidrogen di dalam negeri dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki agar tidak jauh tertinggal dengan negara lain.
Harapannya, penggunaan biohidrogen dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sekaligus mencegah risiko eksploitasi bahan baku baterai sebagai dampak proses transisi ke kendaraan bertenaga listrik.
Penulis: Septina Is Heriyanti, Researcher of Energy, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Joni Prasetyo, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Sumber: The Conversation