Sawit Notif – Salah satu masalah terbesar yang sering dialami oleh para petani kelapa sawit adalah permasalahan legalitas dan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan, disampaikan oleh perwakilan dari Sustainable Palm Oil Initiative (SPOS) Indonesia, Irfan Bakhtiar dalam keterangan tertulis kepada Infosawit.com “Di lapangan kami sering menjumpai kebun yang bersertifikat hak milik, namun letaknya berada di dalam kawasan hutan. Secara normatif kalau dibawa ke pengadilan pasti menang, tetapi tidak mudah juga pekebun memperkarakan ini,” Ujar Irfan.
Perkiraan bahwa penyelesaian tidak akan mudah, disebabkan belum adanya political will dari pemerintah pusat. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah disarankan dapat mengambil langkah dengan memperpanjang Inpres Moratorium yang salah satunya berisi penyelesaian tumpang tindih, serta kebijakan satu peta.
Saat ini, salah satu program kerja prioritas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian adalah menyelesaikan masalah ini di beberapa daerah, seperti di Kalimantan Tengah, dimana sedang diusahakannya penyelesaian dan pengidentifikasian lahan sawit, termasuk lahan sawit rakyat, namun sedikit terkendala akibat minimnya data sawit rakyat.
SPOS Indonesia turut membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan pemetaan petani sawit menggunakan teknologi drone, sehingga langsung bisa didapatkan poligon. Petani binaan SPOS yang berada di Kabupaten Kotawaringin Timur dan beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Barat sedang mengajukan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) agar peta poligon yang sudah didapatkan dapat diverifikasi secara langsung.
Di sisi lain, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjenbun Heru Tri Widarto menyatakan bahwa tumpang tindih areal perkebunan kelapa sawit rakyat dengan kawasan hutan dinilai masih belum juga diupayakan penyelesaiannya oleh pihak berwenang. “Kita masih terus berdiskusi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena aturannya sudah ada, dan tinggal pelaksanaannya,” terangnya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan,kebun milik petani bersertifikat hak milik masih masuk dalam kawasan hutan karena penunjukkan sebagai kawasan dilakukan setelah SHM terbit. “Sudah ada tanda-tanda baik dari KLHK kasus seperti ini akan dilepas,” imbuh Heru.
KLHK hanya meminta dibuatkan peta poligon empat titik untuk kebun di kawasan ini. Secara teori ini mudah, namun kenyataan di lapangan tidak. Heru minta peta poligon ini hanya berlaku untuk kebun dalam kawasan saja, sedangkan bila dinyatakan di luar kawasan tidak perlu.
Diperlukan waktu 1 – 1,5 jam untuk melihat hasil overlay peta kawasan hutan dari empat titik poligon dengan menggunakan bantuan teknologi terkini. Namun apabila KLHK menganggap perlu untuk terjun langsung ke lapangan, maka BPDPKS siap mendanai, dengan persyaratan proses cepat, sehingga para petani tidak menunggu lama, terlebih yang akan melakukan program PSR.
Heru juga meminta asosiasi-asosiasi petani kelapa sawit untuk melakukan kerja nyata dengan ikut serta membantu pembuatan peta poligon. Kegiatan pelatihan cara pembuatan peta, overlay dengan peta kawasan hutan Ditjenbun untuk pendamping dan verifikator dinilai perlu untuk dilakukan sebagai penambah keterampilan. “Sudah dua batch, dilaksanakan di Aceh dan Sumut, tetapi sekarang sedang berhenti sementara akibat PPKM” tutup Heru.
Sumber: InfoSawit.com.