Tanpa Izin, 2,2 Juta Hektare Hutan Dipakai Tambang dan Kebun Sawit Ilegal

Tanpa Izin, 2,2 Juta Hektare Hutan Dipakai Tambang dan Kebun Sawit Ilegal

Sawit Notif – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, total 2,2 juta hektar kawasan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan tanpa izin di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, dikutip dari Republika.co.id.

Meski begitu, Para pelaku aktivitas ilegal itu akan diampuni menggunakan UU Cipta Kerja, sehingga bisa melanjutkan operasinya.

Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani memaparkan bahwa pihaknya mengetahui luas kawasan hutan yang dimanfaatkan secara ilegal di dua provinsi tersebut dengan menggabungkan data citra satelit dan data pemeriksaan lapangan. Pengecekan lapangan ini dilakukan oleh ratusan petugas KLHK pada 2021.

Akibatnya, ada 1.444.800 hektare hutan yang digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan di Provinsi Riau. Luas hutan sebagian besar ini digunakan untuk budidaya kelapa sawit ilegal mencapai 1.351.816 hektar.

Sedangkan untuk pertambangan seluas 4.892 hektare hutan. Ada pula 85.369 hektare hutan yang digunakan untuk kebun campuran. Sisanya, 2.720 hektare digunakan untuk kegiatan lainnya, dikutip dari Republika.co.id.

Sementara itu, di Provinsi Kalimantan Tengah, 759.980 hektar hutan digunakan untuk kegiatan ilegal. Secara spesifik 653.113 hektar digunakan untuk kebun sawit, 106.820 hektare untuk pertambangan, dan 48 hektare untuk penggunaan lainnya.

Rasio mengatakan dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini, bahwa pengguna terbesar dari kegiatan tanpa izin di Kalteng adalah korporasi dengan luas 625.966 hektare hutan.

Tercatat juga pengguna hutan ilegal terbesar kedua ialah kelompok masyarakat, yakni 84.387 hektare. Lalu perseorangan 33.950 hektare, koperasi 15.673 hektare, dan sisanya pemerintah.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan, keberadaan aktivitas ilegal di kawasan hutan kedua provinsi akan diselesaikan dengan menggunakan pasal 110A dan pasal 110B UU Nomor 11 tahun 2020.

Pasal 110A mengatur bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Pasal 110B menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha, maka dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.

Sumber: Republika.co.id.