Petani Sawit Minta Dana BPDP untuk Biodiesel Dihapus

Petani Sawit Minta Dana BPDP untuk Biodiesel Dihapus

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit menghapus dana insentif biodiesel. Pasalnya, pendanaan biodiesel tidak memiliki kekuatan hukum mengacu pada Undang-Undang (UU) Perkebunan.

“Sejumlah perusahaan sawit berskala besar mendapat insentif dari pemerintah sebesar triliunan rupiah sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar atau biodiesel,” kata Ketua Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry di Jakarta, Selasa (27/3).

Sepanjang 2015 hingga 2017, BPDP tercatat telah menghimpun dana sebesar Rp 27,94 triliun, dimana sekitar 89% dana himpunan telah digunakan untuk bahan bakar nabati (biodiesel) dengan 19 perusahaan penerima manfaat. Dengan begitu, dana kembali lagi kepada perusahaan dan tak sejalan dengan UU Perkebunan.

Sementara dana yang tersisa untuk petani hanya sekitar 11% an.dari total anggaran. Itu pun masih terbagi untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, promosi perkebunan serta peremajaan perkebunan. Sedangkan untuk peremajaan kebun sawit sendiri, alokasinya hanya sekitar 1% atau Rp 25 juta per hektar pada 2015-2016, sebesar 5% pada 2017 dan 22% pada tahun ini.

Karenanya Andry menilai, dana BPDP sebaiknya digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit. “Dana perkebunan kelapa sawit sebaiknya jangan untuk sekedar mengatasi permasalahan supply dan demand,” ujarnya.

Atas dasar itu maka pada 8 Februari 2018, SPKS mengajukan gugatan uji materiil untuk Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, khususnya terkait dana perkebunan untuk biodiesel pada Pasal 9 Ayat 2. Isi pasal tersebut dinilai bertentangan dengan tujuan penggunaan dana perkebunan yang diamanatkan Pasal 93 Ayat 4 UU Perkebunan.

Serikat petani meminta aturan tentang tujuan pembiayaan usaha perkebunan kembali kepada amanat UU Perkebunan dan menekankan perhatian pada pemberdayaan petani. “Gugatan uji materiil ini melihat ketidaktertiban hukum yang diakukan pemerintah terhadap kebijakan pembiayaan usaha perkebunan,” tuturnya.

Tahun ini, BPDP memperkirakan penerimaan dana pungutan sawit bisa mencapai Rp 10,9 triliun hingga Rp 13 triliun dengan sedikit perubahan alokasi anggaran., dimana untuk pembayaran insentif biodiesel saat ini hanya mendapat alokasi sebesar 70% dari yang sebelumnya mencapai 89%. Sementara sebagian sisanya dialihkan dan dialokasikan untuk kebutuhan peremajaan tanaman sebesar 22%, pengembangan SDM 2%, penelitian dan pengembangan 2%, sarana dan prasarana 2%, dan promosi 2%.

Atas pengurangan porsi pendanaan biodiesel tersebut, BPDP sebelumnya telah bertemu dengan KPK untuk mendiskusikan perubahan Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB). Perwakilan dari Deputi Bidang Pencegahan KPK Sulistyanto mengatakan, KPK menemukan pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit yang belum efektif karena tak ada verifikasi yang baik.

“Perluasan penggunaan dana tersebut, terutama untuk pemanfaatan bahan bakar nabati, jelas tidak sesuai dengan ketentuan Undang Undang Perkebunan,” kata Sulistyanto.

Katadata mencoba menghubungi BPDP untuk meminta tanggapan atas ketentuan tersebut, namun eksekutif BPDP, hingga saat ini belum bisa dimintai tanggapan. “Yang lebih pas menjawab seperti Pak Dirut,” tulis Direktur Perencanaan, Penghimpunan, dan Pengelolaan Dana BPDP Agustinus Antonius dalam pesan singkat kepada Katadata.

Sementara Direktur Utama BPDP Dono Boestami, yang coba kami hubungi juga belum memberi respon.

Di lain pihak, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan pihaknya menyatakan setuju dengan serikat petani bahwa dana yang terkumpul di BPDP di pergunakan juga untuk pemberdayaan petani sawit. Namun, sesuai dengan tujuan penggunaan, anggaran untuk biodiesel juga harus tetap ada untuk mendukung produksi serta mandatori biodiesel.

Paulus menuturkan, pengumpulan dana yang sejatinya sudah dimulai sejak 2015 ketika program mandatori biodiesel terhenti akibat harga minyak bumi jatuh di bawah US$ 30 per barel. Sementara, harga sawit berada pada US$ 470 per Ton.

Rendahnya harga membuat pendapatan yang diterima petani sebesar Rp 600 sampi Rp 800 per kilogram untuk tandan buah segar. “Semua petani kesulitan,” tutur Paulus.

Namun ketika BPDP mengumpulkan dana, dimana sebagian digunakan untuk mendukung program mandatori biodiesel, harga crude palm oil (CPO) mulai meningkat menjadi sekitar US$ 700 per ton. Kenaikan harga disebabkan oleh pasokan minyak sawit ke pasar dunia berkurang karena dipergunakan untuk biodiesel di Indonesia.

Akibatnya, petani sawit pun menerima sekitar Rp 1.500 hingga Rp 1.700 per kilogram untuk tandan buah segar pada akhir 2016. “Dari data tersebut maka dukungan mandatori biodiesel harus terus berjalan,” kata Paulus.

sumber: katadata.co.id