Pontianak – Petani kelapa sawit di Sebangki, Pontianak, Kalimantan Barat terpaksa menghentikan kerja operasional imbas dsri sentimen negatif yang dilancarkan oleh Pasar Eropa terhadap sektor perkebunan Indonesia.
Sebanyak 78 kepala keluarga terpaksa menghentikan kerja operasional di lahan seluas 5.000 ha akibat tidak ada kejelasan terhadap lahan yang sudah dibuka. Para warga dituduh telah melanggar praktik kebun sawit berkelanjutan.
Tokoh masyarakat Sebangki, Y Ula Kadir merasa tuduhan itu salah alamat karena lahan perkebunan yang digunakan oleh warganya seluas 5.000 ha merupakan areal perkebunan yang sebelumnya sudah ditanami oleh komoditas karet dan komoditas hortikultura seperti buah-buahan.
Padahal sebelum mengganti tanaman karet dan buah-buahan menjadi lahan khusus kelapa sawit, warga sudah mendapatkan dana ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) per ha sebesar Rp300.000 belum termasuk pohon yang ditumbangkan. Para warga memiliki perjanjian masing-masing untuk besaran harga yang dikeluarkan untuk tiap pohon miliknya. Oleh karena belum ada kejelasan, lahan itu saat ini hanya mangkrak dan tidak produktif seperti sebelumnya.
“Areal yang sudah dibuka saat ini tidak bisa lagi kami garap. Anak saya yang membawa alat berat pun harus pulang karena tidak ada yang bisa dikerjakan,” katanya kepada Bisnis, Sabtu (5/5).
Padahal warga Sebangki sudah mendapatkan restu dari pihak pemerintah dari level Bupati sampai dengan Gubernur. Persetujuan Izin Amdal dan persetujuan perkebunan pun sudah dikantungi, karena warga tidak menyentuh hutan lindung.
Bagi Ula Kadir, hutan lindung dan tanah keramat adalah sesuatu yang tidak akan disentuh oleh warganya karena itu menyangkut norma adat dan hukum negara. Lahan dengan level konservasi tinggi seperti gambut pun tidak mereka sentuh.
Dengan adanya pemberhentian kerja operasional akibat sentimen negatif, Ula mengatakan pendapatan per kapita juga terancam menurun drastis. Ula menuturkan dalam satu KK terdapat minimal 3 orang yang bekerja dengan penghasilan 1,5 juta per ha yang dimiliki. Namun dengan pemberhentian ini pemasukan petani juga berkurang.
Sementara keberadaan perkebunan kelapa sawit bermanfaat untuk tetap menjaga kelangsungan Sebangki karena tidak ada lagi warga yang melakukan migrasi ke daerah lain seperti Sambas atau Ketapang untuk mendapatkan pekerjaan yang sama sebagai petani kelapa sawit juga.
“Sosialisasi sudah berlangsung sejak 2012 dan kami menerima [perubahan komoditas]. Warga tahu gambut yang mana dan bukan. Kami tahu Tanah keramat dan kuburan tidak boleh disentuh seperti halnya Hutan lindung juga. Sekarang juga kami paham hewan yang mana boleh diburu atau tidak,” tutupnya.
sumber: industri.bisnis.com