Mengapa Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Mengancam Perang Dagang dengan Uni Eropa?

Mengapa pengusaha kelapa sawit Indonesia mengancam perang dagang dengan Uni Eropa

Para pengusaha sawit Indonesia menyatakan Indonesia akan melancarkan perang dagang dengan Uni Eropa jika blok itu tetap memberlakukan pembatasan impor biofuel dari Indonesia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengancam untuk menggugat Uni Eropa, kata salah satu tokohnya.

“Kami sangat setuju oleh langkah yang ditempuh oleh Bapak Menteri Perdagangan kita, Pak Enggartiasto Lukita bahwa pemerintah akan menggunakan prinsip resiprokal yaitu memberlakukan yang sama. ‘Anda ganggu sawitku, aku juga ganggu susumu.’ Kan kita impor susu banyak dari Eropa, impor ikan, keju,” kata Kacuk Sumarto Wakil Ketua GAPKI.

“Itukan artinya perang dagang nanti,” tandas kacuk.

Ini merupakan babak baru perselisihan antara produsen sawit Indonesia dan Uni Eropa. Dulu para produsen biofuel, salah satu produk olahan kelapa sawit, di Indonesia menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena Uni Eropa menuduh mereka melakukan praktik dumping.

Pemicu perselisihan terakhir adalah Uni Eropa berencana untuk membatasi impor biofuel sebagai energi yang terbarukan pada 2021 mendatang.

Alasannya, menurut Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend, untuk membatasi biofuel yang berasal dari tanaman pangan seperti sawit, karena praktik yang selama ini terjadi membuat tanaman pangan menjadi lebih mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat.

Selain itu juga karena biofuel ini diyakini Uni Eropa menyebabkan deforestasi.

Namun Vincent Guerend menjelaskan bahwa rencana pembatasan itu “tidak akan berdampak ke perdagangan, tidak berdampak ke peraturan perdagangan dan tidak berdampak pada ekspor Indonesia atas minyak sawit atau biofuel yang berasal dari sawit ke Eropa.”

“Ini hanya tentang biofuel yang berasal dari minyak sawit dianggap atau tidak sebagai energi terbarukan.”

Semua perusahaan di Eropa yang saat ini menggunakan minyak sawit sebagai biofuel dapat terus menggunakannya dengan bebas di atas tahun 2021. Namun menurut Parlemen Eropa, setelah 2021 biofuel yang berasal dari minyak sawit secara legal tidak dapat dianggap sebagai energi terbarukan menurut Target Perjanjian Perubahan Iklim Paris.

Eropa tidak mewajibkan perusahaan yang beroperasi di wilayahnya untuk menggunakan energi terbarukan. Namun konsumen yang justru menganggap itu penting sehingga mau tak mau perusahaan menyesuaikan diri dengan tuntutan itu.

Di sisi lain, makin berkembang pula bahan nabati lain untuk biofuel di Eropa, seperti bunga matahari.

Dan Wakil Ketua GAPKI Kacuk Sumarto menuduh rencana Uni Eropa diskriminatif terhadap produsen sawit Indonesia.

“Di samping karena ada persaingan dagang dengan minyak nabati lainnya, saya kira ini juga kurangnya informasi dari Parlemen Eropa mengenai praktik kelapa sawit yang ada di Indonesia. Mereka terkena provokasi-provokasi dari pesaing kelapa sawit, misalkan bunga matahari, rape seed, dan soya sehingga mereka kekurangan informasi mengenai praktik kelapa sawit di Indonesia,” kata Kacuk.

Untuk itulah maka GAPKI dan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pun mengundang perwakilan Uni Eropa ke Jambi, untuk melihat langsung perkebunan kelapa sawit di sana.

Lantas bagaimana pengaruh lobi-lobi ini?

“Jadi kesimpulan saya lewat kunjungan itu, memang perusahaan besar seperti yang kami kunjungi yang telah memiliki beberapa sertifikat internasional: ISPO, RSPO, ICC untuk biofuel, berusaha keras untuk mengoptimalkan proses mereka, untuk meminimalisir biaya dan dampak ke lingkungan,” jawab Dubes Uni Eropa Vincent Guerend.

Namun tambahnya, “Di saat bersamaan, kita tidak bisa menghiraukan kenyataan bahwa perkebunan besar terdiri atas ribuan hektar memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah dibanding hutan alam. Sehingga tentu dibutuhkan keseimbangan antara membuka lahan untuk perkebunan seperti itu dan hutan alam.”

GAPKI bersikeras bahwa program sustainability atau keberlanjutan sudah dipraktikkan di hampir sepertiga total areal kelapa sawit di Indonesia, yang menghasilkan 11 juta ton minyak sawit per tahun.

Jumlah itu dua kali lipat dari permintaan Uni Eropa, jadi GAPKI yakin bahwa semua suplai ke Uni Eropa sudah tergolong berkelanjutan.

Namun apakah praktik yang diklaim berkelanjutan itu cukup?

Tidak, tegas Vincent Guerend.

“Jelas itu tidak cukup. Jika angkanya menunjukkan hanya 15% atau kurang dari 20% pelaku usaha minyak sawit Indonesia yang taat dengan standar itu, bagaimana saya bisa katakan saat ini bahwa produksi minyak sawit Indonesia berkelanjutan?”

Kini ‘bolanya’ mungkin di tangan produsen kepala sawit Indonesia. Karena total ekspor minyak sawit ke Uni Eropa mencapai €2 miliar atau Rp30 triliun per tahun dan sekitar 45% diantaranya atau hampir Rp15 triliun adalah biofuel.

Jadi jika pengusaha kelapa sawit tidak ingin kehilangan pendapatan maka agaknya mereka harus benar-benar menerapkan praktik yang berkelanjutan.

Atau, mencari pasar baru.

Pilihan lainnya, berharap agar dalam upaya gugatan terbarunya, WTO akan berpihak kepada GAPKI dan bukan prinsip keberlanjutan Uni Eropa.

sumber: bbc.com