Jakarta – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat adanya penurunan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical sebesar 2% pada kuartal I 2018 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif GAPKI Danang Girindrawardana mengatakan, pada kuartal pertama 2017, ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 8,02 juta ton, namun pada periode yang sama 2018, melorot menjadi 7,84 juta ton.
“Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor minyak sawit Indonesia adalah adanya beberapa hambatan perdagangan yang diterapkan oleh beberapa negara,” kata Danang, dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (24/5/2018).
Danang menambahkan, hambatan-hambatan tersebut antara lain seperti dari Uni Eropa yang mengeluarkan resolusi Parlemen Eropa yang menuding sawit sebagai penyebab deforestasi, India yang menaikkan bea masuk impor minyak nabati.
Selain itu, Amerika Serikat melancarkan tuduhan antidumping biodiesel dan RRT yang memperketat pengawasan terhadap minyak nabati yang diimpor.
GAPKI mencatat, khusus untuk minyak sawit mentah dan turunannya saja (tidak termasuk Olechemical dan Biodiesel) pada kuartal I 2018 menurun tiga persen pada kurtal I 2018 dibanding periode yang sama tahun lalu atau dari 7,73 juta ton di kuartal I 2017 turun menjadi 7,5 juta ton di periode yang sama tahun 2018.
Di sisi lain, kinerja produksi minyak sawit Indonesia pada kuartal I 2018 naik mencapai 24 persen dibandingkan periode yang sama 2017 atau dari 8,4 juta ton pada kuartal I 2017 naik menjadi 10,41 juta ton periode yang sama 2018.
Produksi yang meningkat cukup signifikan ini disebabkan pada kuartal I 2017 yang masih masa pemulihan dari kekeringan yang dialami pada tahun 2015, selain itu juga luasan tanaman yang mulai menghasilkan mulai bertambah sehingga produksi dapat tetap meningkat meskipun banyak perkebunan yang melaksanakan peremajaan kebun.
Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia pada Maret 2018 juga tercatat naik kurang lebih satu persen. Sepanjang Maret volume ekspor minyak sawit Indonesia (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) hanya mampu mencapai 2,4 juta ton, atau terkerek 33,86 ribu ton dibandingkan Februari lalu yang mencapai 2,37 juta ton.
Kinerja ekspor yang relatif stagnan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah India yang menaikkan pajak impor minyak nabatinya di awal Maret 2018 untuk CPO 44 persen dari semula hanya 30 persen dan refined palm oil 54 persen dari semula 40 persen.
Kebijakan India yang menaikkan pajak impor minyak nabati, menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia ke India tergerus 33.440 ton atau turun sekitar 8% pada Maret 2018 dibandingkan dengan bulan sebelumnya, atau dari 442.090 ton di Februari turun menjadi 408.650 ton di Maret.
Penurunan ekspor minyak sawit Indonesia pada Maret 2018 dibandingkan bulan sebelumnya juga terjadi ke Bangladesh 59%, negara Timur Tengah 30% dan Pakistan 0,5%.
Di lain pihak beberapa negara pasar tradisional tujuan ekspor Indonesia seperti Uni Eropa, RRT dan Amerika Serikat pada Maret 2018 masing-masing mencatatkan kenaikan impor 38%, 16%, dan 11% dibandingkan dengan Februari.
Pasar baru negara Afrika juga ikut membukukan kenaikan impor sebesar 38%.
Dari sisi produksi, pada Maret 2018 produksi minyak sawit Indonesia mencatatkan kenaikan sembilan persen atau dari 3,35 juta ton pada Februari lalu naik menjadi 3,65 juta ton pada Maret 2018.
Peningkatan produksi ini karena hari kerja yang panjang dan cuaca yang mendukung. Dengan produksi yang masih meningkat dan ekspor yang relatif stagnan, stok minyak sawit Indonesia membukukan kenaikan menjadi di 3,65 juta ton di akhir Maret dibandingkan Februari lalu di 3,5 juta ton.
Dari sisi harga, sepanjang bulan Maret 2018 harga CPO global bergerak di kisaran US$665 – US$695 per ton dengan harga rata-rata US$676,2 per ton. Harga rata-rata Maret meningkat US$13,1 dibandingkan dengan harga rata-rata pada Februari lalu yang sebesar US$663,1 per ton.
sumber: bisnis.com