Jakarta – Kelapa sawit memiliki daya saing lebih tinggi dibanding dengan komoditas lain terutama untuk ekspor. Pemerintah Indonesia pun mulai memberikan perhatian terhadap komoditas ini. Namun perhatian tersebut dinilai baru secara ekonomi, tidak pada sisi politik.
“Dari sisi politik belum sama sekali,” ujarpengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono saat menjadi pembicara pada Seminar dan Musyawarah Nasional (Munas) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) X yang berlangsung pada 14 hingga 16 Maret 2018 di Jakarta.
Kondisi ini, kata dia, juga terjadi di sektor pertanian secara umum. Hingga saat ini asosiasi petani tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun dalam pesta demokrasi pada ajang pilkada maupun pilpres.
Menurutnya, hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS). Di negara tersebut, asosiasi petani memiliki posisi tawar asosiasi yang sangat kuat.Padahal jumlah petani di Jepang hanya sekitar 1 persen dari jumlah penduduknya. Di AS hanya 5 persen sementara Indonesia sekitar 35 persen dari total penduduk.
Meski memiliki jumlah petani yang sangat kecil, namun Pemerintah Jepang dan AS sangat konsen dengan swasembada. Hal itu dilakukan Pemerintah Jepang dan AS dalam rangka menjaga ketahanan pangan. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh kedua negara tersebut memproteksi sektor pertanian.
“Proteksinya berupa harga, tidak boleh menabrak floor price atau harga dasar. Kalau menabrak floor price berarti harganya terlalu murah,” katanya.
Harga murah tersebut artinya disinsentif bagi petani. Padahal, petani di Jepang
tinggal 1 persen. Menurutnya, jika petani yang tinggal sedikit itu tidak diproteksi, maka mereka akan meninggalkan pertanian. “Jadi di Jepang posisi tawarpetani itu sangat tinggi,” ujarnya.
Sementara di Indonesia sebaliknya, Pemerintah Indonesia justru menerapkan selling price (harga batas atas). Artinya, harga tidak boleh bertabrakan dengan plafon. Jika terjadi, pemerintah akan mengambil kebijakan impor.”Jadi Indonesia lebih memproteksi konsumen,” kata Tony.
sumber: republika.co.id