Indonesia akhirnya memiliki indeks harga acuan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) independen.
Sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar, Indonesia sudah selayaknya memiliki indeks harga acuan untuk salah satu komoditas andalan ini. Selama ini, Indonesia mengandalkan Rotterdam dan Malaysia sebagai acuan harga CPO lokal.
Indonesia Crude Palm Oil Index (ICPOI) diluncurkan oleh PT Indeks Komoditas Indonesia (IKI) di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Direktur Utama IKI, Maydin Sipayung, berharap kehadiran indeks harga acuan CPO bisa dimanfaatkan tak hanya oleh pelaku usaha saja, melainkan juga pemerintah. Merujuk detikcom, salah satu kegunaan indeks harga acuan adalah sebagai dasar penentuan jumlah royalti dan pajak dari pelaku usaha.
“Dengan ini diharapkan agar daya tawar pelaku industri bakal menjadi kompetitif di pasar global,” sambung Maydin.
Namun Maydin menekankan, kehadiran ICPOI versi IKI ini bukan sebagai kompetitor indeks harga acuan sawit yang selama ini sudah ada di global.
“Semakin banyak indeks semakin baik. Para pelaku yang akan menilai indeks mana yang sesuai dengan pasar,” tutur Maydin.
Indeks ICPOI akan memberikan gambaran efisiensi pasar CPO lokal sekaligus informasi manakala terjadi gejolak harga CPO serta mencegah meluasnya fluktuasi harga.
Penetapan ICPOI menggunakan gabungan metodologi penilaian panelis (panel assessment) dan penilaian ahli independent (professional independent assessment) sehingga tercapai harga yang berorientasi terhadap pasar.
Ada 16 panelis pembentuk harga yang terdiri dari produsen, konsumen, dan pedagang. Nantinya, bersama pelaku profesional, harga sawit Indonesia akan dirilis satu kali seminggu setiap hari Jumat. Belum diketahui alamat situs yang akan digunakan untuk menyediakan ICPOI ini.
Sejauh ini ICPOI mendapatkan banyak respons positif dari pelaku dan pemerhati komoditas sawit.
Meski begitu, Ketua Bidang Otonomi Daerah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kacuk Sumarto, menekankan ICPOI masih membutuhkan sejumlah pengujian untuk menjadi indeks harga acuan CPO yang akurat, transparan, dan akuntabel.
“Kalau kemudian akurasinya indeks ini tinggi, maka alternatif ini akan menjadi rujukan secara terus-menerus, dan bisa saja dari Malaysia ditinggalkan,” sambung Kecuk, mengutip Kumparan.
Staf Ahli Menteri Perdagangan bidang Perdagangan Jasa, Lasminingsih, juga berharap ICPO bisa menjadi alternatif acuan harga yang bisa diterima semua pihak.
Sebab menurutnya harga referensi yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan luas, baik bagi acuan domestik maupun luar.
ICPOI, sambung Lasminingsih, bisa saja kemudian menjadi acuan nasional, namun hal itu masih membutuhkan waktu pengamatan, setidaknya 3-6 bulan ke depan. Di samping itu, pemerintah juga akan melakukan pengawasan dan pemanfaatan indeks harga sawit lokal.
“Tapi, ini tidak menggeser indeks harga internasional. Hanya saja, lebih baik bagi kita kalau ada referensi di dalam negeri,” tukasnya.
Menyelisik data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Indonesia memproduksi minyak sawit sebesar 35,35 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut meningkat dibanding hasil produksi pada tahun 2016 yang mencapai 33,2 juta ton.
Luasan lahan sawit juga tercatat bertambah dari 11,9 juta hektare pada 2016 menjadi 12,3 juta hektare pada 2017.
Sebagian besar produksi sawit Indonesia diekspor ke Tiongkok, India, Pakistan, Malaysia, dan Belanda. Meski jumlahnya tidak signifikan, Indonesia juga menerima impor minyak sawit dari India.
Sebagai salah satu industri terbesar di Indonesia, komoditas minyak sawit menyumbangkan sekitar 1,5-2,5 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Sekitar 70 persen perkebunan kelapa sawit berada di Sumatra, disusul Kalimantan dan pulau-pulau lain.
sumber: beritagar.id